Pala Belanda di Kepulauan Banda, Selisik Jejak VOC

- 4 Oktober 2021, 06:05 WIB
Buah pala (Myristica fragrans) merah dan pala belanda atau albino di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah, Maluku.
Buah pala (Myristica fragrans) merah dan pala belanda atau albino di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah, Maluku. /ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/

SUARA TERNATE - Gugusan pulau di Kepulauan Banda jadi saksi riwayat kemasyhuran perkebunan pala semenjak ratusan tahun lalu. Tercatat dalam riwayat, pala sebagai tanaman endemik asal Banda yang diperjualbelikan hingga ke seluruh penjuru dunia.

Saat itu, pala yang dipakai sebagai rempah-rempah, dipasarkan melebihi harga emas. Karena pala juga, Belanda melalui persekutuan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mengawali konflik perebutan persaingan dan monopoli pala melawan para pedagang dari Inggris, Spanyol, Cina sampai Arab.

Jejak kejayaan pala di Kepulauan Banda pun masih terlihat saat ini seperti benteng Belanda, istana mini hingga perkebunan (perk) dengan pohon pala berusia ratusan tahun. Jejak itu tersebar di tujuh pulau berpenghuni dari 11 gugusan pulau. Pulau berpenghuni itu yakni Gunungapi, Banda Besar (Lontar), Banda Neira, Hatta, Ay, Rhun dan Syahrir.

Kepulauan Banda termasuk dalam wilayah Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Kepulauan Banda berbatasan dengan Selat Seram di Utara, Kepulauan Teon Nila Serua di Selatan, Laut Banda di Timur dan Barat.

Kendaraan motor yang dimodifikasi membawa pewarta ANTARA mengelilingi beberapa jejak peninggalan Belanda di Pulau Rhun, medio November 2020. Melalui jalan setapak, motor melaju di bawah hamparan pohon pala yang ditanam di punggung perbukitan.

Baca Juga: Kisah Pala dalam Jalur-Jalur Kuno Pembawa Rempah

“Ini pohon pala Belanda dan ini buahnya,” kata Fadli (40), warga Pulau Rhun, sambil menunjukan biji pala yang sudah dibelah.

Sekilas pohon pala Belanda bentuknya sama seperti tanaman pala pada umumnya. Demikian pula kulit buahnya berwarna kuning. Namun saat buahnya dibelah terdapat biji berwarna hitam dan bunga (fuli) berwarna putih.

Di sini letak perbedaanya, kata Fadil, karena umumnya fuli pala berwarna merah, namun pala yang oleh masyarakat setempat disebut pala Belanda itu ternyata fulinya berwarna putih.

Fuli pala Belanda sangat mirip dengan fuli pala muda yang belum waktunya dipanen. “Padahal ini sudah tua, tapi fulinya tetap putih mirip pala muda,” jelas Fadli.

Dia mengakui, jenis pala Belanda tidak banyak dibudidayakan masyarakat Pulau Rhun. Tidak ada alasan yang pasti, tetapi identitas pala Belanda masih bisa ditemukan di Pulau yang dulunya ditukar dengan Manhattan, Amerika tersebut.

Masih di Pulau Rhun, Rosman Rajamani (43) sibuk membersihkan semak-semak di antara pohon-pohon pala di kebunnya. Rosman merupakan salah seorang petani yang menanam puluhan pohon pala di Pulau Rhun.

“Saya tidak menanam Pala Belanda,” kata Rosman.

Walaupun Rosman tidak menanam, tetapi ada beberapa rekannya sesama petani yang memiliki pohon-pohon pala dengan fuli berwarna putih kekuningan itu.

Menurut dia, perbedaan pala Belanda dan pala asli Banda hanya dibentuk fuli saja. Fuli berwarna putih seperti pala masih muda.

Suasana perkampungan Pulau Run, Banda, Maluku Tengah, Maluku.
Suasana perkampungan Pulau Run, Banda, Maluku Tengah, Maluku.


Dugaan Monopoli

Sejarawan muda Kepulauan Banda Lukman A Ang mengatakan pala Belanda atau yang mereka biasa sebut pala albino diyakini sebagai hasil rekayasa genetik dari bangsa Belanda saat menjanjah di Kepulauan Banda.

“Disebut pala Belanda, karena bunga atau fuli berwarna putih,” kata Lukman.

Menurut Lukman, sangat sedikit cerita atau pun referensi terkait pala albino. Dia mendapatkan referensi berdasarkan beberapa tokoh di Banda Neira, salah satunya Des Alwi yang merupakan sejarawan ternama asal Banda. Selain itu, referensi lainnya juga didapatkan dari salah seorang peneliti asal Belanda.

Setelah tahun 1621, terjadi persaingan dagang komoditi Pala antara Belanda dan para pedagang asal benua Eropa dan Asia. Untuk memenangkan persaingan dan monopoli pala, Belanda mengembangbiakan pala albino di salah satu perkebunan di Pulau Banda Besar.

Kala itu, masyarakat dan pedagang mengenal fuli pala berwarna merah. Sehingga Belanda mencoba melakukan rekayasa genetik untuk merubah warna fuli pala dari merah menjadi putih. Intinya hanya satu, untuk memanipulasi dan memonopoli perdagangan, ujar Lukman.

“Setiap pedagangan pasti tahu, kalau fuli itu berwarna putih, artinya pala itu belum matang dan belum bisa dipanen,” katanya.

Dugaan cerita monopoli perang dagang serta mengelabuhi pedagang lintas bangsa itu, kata Lukman, juga didapatkan dari referensi di Museum Leiden di Belanda.

Baca Juga: Tajibesi: Debus Ala Maluku Kie Raha yang Berperan Bangkitkan Semangat Perlawanan terhadap Kolonial

Hingga saat ini, animo masyarakat untuk membudidayakan pala Belanda sangat kurang. Alasannya fuli itu berwarna merah, sehingga jangal bila ada fuli pala yang berwarna putih. Padahal dari bentuk dan aroma tidak ada perbedaan sama sekali.

Hal senada disampaikan Pongky Irwandi Van Den Broeke (64), salah seorang pemilik perkebunan pala di Pulau Banda Besar. Nama pala Belanda diberikan oleh masyarakat Pulau Banda.

Sebenarnya pala tersebut sama seperti pala umumnya, namun mengalami kelainan genetik, sehingga disebut sebagai pala albino. Perbedaannya hanya pada warna fulinya.

Pongky menduga jika pala Belanda itu terbentuk akibat mutasi genetik dari pala umum yang proses pembentukan fulinya tidak sempurna.

"Sejak zaman Belanda memang pala itu sudah ada," ujar dia.

Pongky merupakan generasi ke 13 sebagai pemilik perkebunan (Parkenier) tanaman pala di Kepulauan Banda. Dirinya keturunan dari Paulus Van Den Broeke, warga Belanda yang mengelola pala sejak 1912.

Namun Pongky menyakini pala Belanda sama persis dengan spesies Myristica Fragrans yang dibudidayakan saat ini. Pala Belanda bukan hasil rekayasa genetik, bukan pala jantan atau pun bukan jenis pala hutan dari wilayah Maluku Utara.

"Ada kemiripan saja," ujar Pongky.

Pongki mengakui jika dia memiliki beberapa pohon pala albino itu. Namun dirinya tidak fokus untuk mengembangkannya.

Alasannya, sebagai penangkar benih, dia lebih memilih membudidayakan pala dengan fuli berwarna merah.

"Ada instruksi kementerian pertanian, jika pala Belanda tidak bisa dibudidayan. Alasannya saya tidak tahu juga," jelas Pongky.

Riset yang dilakukan Arrijani berjudul Biologi dan Konservasi Marga Myristica di Indonesia yang diterbitkan Biodiversitas April 2005 mengidentifikasi sembilan jenis marga Myristica yang tersebar di Indonesia yakni Irian, Maluku, Sumatera, Sunda, Maluku dan Jawa.

Jenis Myristica disebut dengan nama berbeda yakni Henggi (Myristica argentea Warb.) di Irian atau Papua, pala utan (Myristica fatua Houtt.) di Maluku, pala (Myristica fragrans Houtt.) nama umum di Indonesia, penara (Myristica iners Bl) di Sumatera.

Selanjutnya Ki mokla (Myristica littoralis Miq.) di Sunda, pala onin (Myristica Schefferi Warb.) di Maluku, Muskat (Myristica speciosa Warb.) di Maluku, pala maba (Myristica succedanea Bl.) di Maluku dan Durenan (Myristica tesmannii Miq.) di Jawa.

Riset lainnya dilakukan Sri Soenarsih Diah berjudul Pala (Myristica spp) Maluku Utara berdasarkan keragaman morfologi, kandungan atsiri, pendugaan seks tanaman dan analisis marka SSR di Institut Pertanian Bogor 2012.

Riset itu menguatkan pernyataan jika pala albino bukan hasil rekayasa genetik, tetapi spesies yang sama dari pala asal Banda dalam jenis Myristica fragrans.

Jenis itu memiliki warna fuli merah dan putih. Terdapat pula fuli berwarna kuning untuk jenis pala maba atau Myristica succedanea Bl.

Perbedaan pendapat atau cerita tentang pala Belanda atau pala albino merupakan hal lumrah di masyarakat petani. Namun berbeda, jika buah pala dengan fuli merah disandingkan bersama buah dengan pala fuli putih.

Akan terlihat jelas gambaran “Merah Putih”, seperti warna bendera Negara Indonesia, yang telah merdeka setelah “dijajah” lebih dari 350 tahun lamanya. (Penulis:Fauzi).***

Editor: Ahmad Zamzami

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x