Kisah Pala, Pongky Van Den Broeke Parkenier Terakhir?

- 5 Oktober 2021, 06:05 WIB
Perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke.
Perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke. /ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja./

SUARA TERNATE - “Saya masih sangsi anak laki-laki saya untuk mengurus perkebunan,” kata Pongki.

Pongky Irwandi Van Den Broeke sebagai generasi ke-13 pemilik perkebunan atau parkenier tanaman pala di Kepulauan Banda. Dia lahir 5 Agustus 1956 dengan ayah Benny Wiliem Van Den Broeke. Pongky turunan dari Paulus Van Den Broeke, masyarakat Belanda yang mengurus pala semenjak tahun 1912.

Dalam riwayat tercatat tanaman pala sebagai komoditi rempah yang paling bernilai, bahkan juga lebih mahal dari emas. Ratusan tahun kemarin sampai abad ke-16, bangsa-bangsa Eropa mengawali penelusuran untuk cari daerah penghasil rempah.

Portugis jadi bangsa pertama kali yang masuk ke Nusantara sesudah mereka mengalahkan Malaka pada 1511, dan sukses capai Kepulauan Banda di 1512. Kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa Eropa yang lain, satu diantaranya Belanda. Belanda dengan persekutuan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mengawali konflik persaingan perebutan dan monopoli pala di Kepulauan Banda di tahun 1609.

Baca Juga: Kisah Pala dalam Jalur-Jalur Kuno Pembawa Rempah

Pongky menuturkan marga Van Den Broeke pertama kali tiba di Banda adalah Pieter Van Den Broeke. Pieter merupakan admiral angkatan laut dari kerajaan belanda. Melihat situasi Banda dengan kekayaan rempah-rempahnya, Pieter kemudian balik ke Belanda untuk mengambil adiknya Paulus van de Brooke.

Perkebunan Pala (Perk) pertama kali dikelola Paulus bernama Welvaren berada di Pulau Ay seluas 20 hektar. Seiring berkembangnya waktu, usaha perkebunan pala semakin berkembang. Masih di Pulau Ay, klan itu membuka perkebunan baru bernama Waltervreden. Lalu ekspansi kembali dilakukan di Pulau Banda Besar dengan perkebunan Waltervreden Lonthoir.

Hingga generasi kelima, klan Van Den Broeke telah memiliki sekitar 140 hektare perkebunan pala yang tersebar di Kepulauan Banda. Bahkan keluarga Van Den Broeke juga memiliki saham di beberapa perkebunan pala milik parkenier lainnya.

Sejak Banda dikuasai Belanda, terdapat 31 perkebunan di Pulau Ay, 34 perkebunan di Banda Besar dan 3 perkebunan di Naira. Sejak saat itu, penguasaan perkebunan pala dilakukan oleh Belanda dan keturunan mereka, hingga Jepang masuk ke Nusantara pada tahun 1942.

“Sejak generasi ketiga keturanan Van Den Broeke, sudah terjadi perkawinan campur dengan masyarakat lokal,” kata Pongky.

Pongky van den Broeke menunjukan foto Peter van den Broeke di Pulau Banda Besar, Banda, Maluku Tengah, Maluku.
Pongky van den Broeke menunjukan foto Peter van den Broeke di Pulau Banda Besar, Banda, Maluku Tengah, Maluku.


Pada masa penjajahan Jepang, Kakek Pongky yakni Williem Frederick Steiner Van Den Broeke ditahan di Makassar. Sementara sang ayah, Beny Wiliem tetap ditahan di Banda dan dijadikan tenaga untuk mengasah samurai tentara Jepang.

Kemudian, pada saat Indonesia merdeka, keluarga Van Den Broeke sudah tidak memiliki aset perkebunan lagi. Karena semua perkebunan yang dikuasai Jepang, dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.

Walaupun tidak memiliki kebun lagi, kakek dan ayah Pongky masih tetap bertahan di Banda Neira. Sesekali, mereka melihat perkebunan mereka yang sudah dikelola perusahaan pemerintah tersebut.

Kemudian pada 1976, ayah Pongky, Beny Wiliem mencoba meminta kompensasi kepada Pemerintah Indonesia atas 140 hektar lahan mereka yang dirampas Negara. Hingga tahun 1978, pemerintah akhirnya mengembalikan separuh lahan itu kepada keluarga Van Den Broeke.

“Sebenarnya bukan separuh, tetapi dikembalikan hanya 12,5 hektar,” ujar Pongky.

Sejak saat itu, Beny Wiliem mulai mengatur kembali perkebunan yang tersisa karena banyak tanaman pala yang rusak saat masa penjajahan Jepang hingga dikelola oleh pemerintah. Pala baru mulai ditanam dengan mempertahankan metode budi daya seperti pertama kali dilakukan di Pulau Banda.

Hingga akhirnya pada tahun 1990, Pongky kembali ke Banda untuk mengurus perkebunan pala setelah mendapatkan telegram berkali-kali dari ayahnya.

“Pulang sudah, siapa yang mengelola perkebunan. Papi sudah ga kuat,” kata Pongky mengulang kembali perkataan ayahnya.

Pemilik kebun pala yang juga keturunan ke-13 seorang perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke, Pongky van den Broeke di Pulau Banda Besar, Banda, Maluku Tengah, Maluku.
Pemilik kebun pala yang juga keturunan ke-13 seorang perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke, Pongky van den Broeke di Pulau Banda Besar, Banda, Maluku Tengah, Maluku.

Hampir Mati

Sebelum mengelola perkebunan pala, Pongky bersama empat saudaranya tinggal di Jakarta. Merasa nyaman di ibu kota, Pongky tidak pernah punya niat untuk meneruskan perkebunan keluarga itu.

Pongky sempat pulang ke Banda saat bencana letusan gunung api di tahun 1988. Saat itu, dia datang untuk melihat kondisi kedua orang tuanya. Setelah itu Pongky kembali lagi ke Jakarta untuk meneruskan pekerjaannya sebagai mekanik.

Usai kepulangan itu, Pongky dan tiga saudaranya sering mendapatkan pesan telegram dari sang ayah. Merasa sudah tua, orang tua mereka mempertanyakan siapa yang akan meneruskan perkebunan tersebut.

Sebagai anak kedua, Pongky kemudian mengumpukan saudara-saudaranya untuk berunding. Seorang saudara lelaki dan dua saudari perempuan tidak ingin kembali ke Banda, dan tetap tinggal di Jakarta.

Baca Juga: Tajibesi: Debus Ala Maluku Kie Raha yang Berperan Bangkitkan Semangat Perlawanan terhadap Kolonial

“Saya kasihan dengan papi dan tahun 1990, saya kembali ke Banda,” ujar Pongky.

Pongky memulai babak baru mengelola perkebunan pala. Setibanya di Banda, Pongky hanya sepekan tinggal di rumah bersama keluarga. Dia memilih tinggal dan membuat gubuk di dalam kebun pala.

“Saya belajar otodidak hingga berhasil seperti saat ini,” katanya.

Pongky tidak pernah membayangkan konflik horizontal antar agama di Ambon tahun 1999 sampai di Kepulauan Banda. Dia menunjukan lima makam, beberapa ratus meter dari rumahnya.

Makam itu berada di area kompleks pekuburan keluarga. Lima makam itu yakni sang ibu, bibi, istri dan dua anak perempuannya. Mereka menjadi korban dalam konflik tersebut. Pongky mengenang kembali kejadian 20 tahun silam itu.

Kala itu, puluhan orang telah mengelilingi rumahnya sambil berteriak dan membawa senjata tajam. Merasa terancam, Pongky membawa keluarganya melalui pintu samping, untuk bersembunyi di sebuah rumah sekitar satu kilometer dari rumah utamanya.

Namun, Pongky kembali lagi untuk mengambil dokumen surat berharga di kediamannya. Saat kembali, ternyata orang-orang itu telah berada di sekitar rumahnya. Pongky yang masih berada di dalam kamar, berhasil kabur dan lompat dari jendela.

“Saya hampir kena bacok, namun kondisi malam hari, akhirnya masih bisa melarikan diri,” tutur Pongky.

Pongky pun terpisah dengan keluarga. Bahkan saat bersembunyi pun, Pongky masih mendegarkan teriakan orang-orang tersebut, yang terus mencari keberadaannya.

“Saya sempat dengar ada ucapan, bunuh dia, dia bukan orang Indonesia, dia orang Belanda, kenapa kuasai perkebunan,” kenang Pongky.

Beberapa jam Pongky tetap bersembunyi. Hingga malam hari dan merasa aman. Pongky lalu mendatangi rumah salah seorang kerabatnya dan ingin menanyakan kabar keluarganya. Namun naas, Pongky mendapatkan kabar jika semua keluarganya telah tewas.

Merasa tidak memiliki siapa-siapa lagi dan berada di titik paling bawah dalam hidupnya, Pongky memberanikan diri menemui orang-orang yang terus mencari dirinya. Tetapi tuhan berkehendak lain, saat berada diujung kematian, Pongky mendengarkan suara lantang petugas keamanan dari TNI yang menyelamatkan dirinya.

Pongky lalu dibawa ke rumah tokoh masyarakat Banda yakni Des Alwi. Disana Pongki mendapatkan kabar dan bertemua dua anaknya yang lain yakni Edo dan Putri. Edo kala itu dalam keadaan kritis dan tidak sadarkan diri, sementara Putri dengan kondisi trauma berat.

Sembilan hari berada di kediamaan Des Alwi, Pongky kemudian hijrah ke Jakarta membawa anaknya dalam kondisi kritis untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Hampir sebulan lamanya, anak laki-laki tunggalnya mendapatkan perawatan di rumah sakit.

“Saat itu, Edo sekitar kelas 1 SMA. Walaupun dia sembuh, tetapi dalam tubuhnya ada selang permanen yang digunakan untuk menyambung hidupnya,” ungkap Pongky.

Berjalannya waktu, Pongky mulai melupakan kejadian itu dan telah memaafkan para pelaku yang telah membunuh keluarganya. Edo pun demikian, sang anak laki-lakinya telah berkeluarga dan tinggal di Banda Neira. Namun, Putri, memilih tidak kembali ke Banda dan menetap di Yogyakarta, kampung halaman orang tua dari ibu mereka.

Makam salah satu kakek dari Pongky van den Broeke.
Makam salah satu kakek dari Pongky van den Broeke.

Penerus perkebunan

Pongky tersenyum ketika ANTARA menyebutnya sebagai “The Last of Parkenier” atau pemilik perkebunan pala keturunan Belanda terakhir di Pulau Banda. Dia mengakui jika bangsa Belanda masih menggunakan sistem laki-laki yang menjadi pewaris dan membawa keturunan nama keluarga.

Di Indonesia kata Pongky, banyak keturunan dari Van Den Broeke. Namun sejak dahulu, mereka tidak ada yang mau mengelola perkebunan Pala. Ayahnya, Beny Wiliem Van Den Broeke memiliki lima saudara. Tiga diantara menjadi warga Negara Indonesia.

“Waktu Bapak saya meminta kompenasi, yang mengurus dia. Banyak yang bisa mengurus, tapi tidak mau, akhirnya bapak saya menjadi pewaris tunggal,” kata Pongky.

Halaman:

Editor: Ahmad Zamzami

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x