SUARA TERNATE - Sastra karya Tionghoa di Indonesia atau sastra peranakan Tionghoa biasa dikenal dengan "sastra Melayu rendah". Menggunakan bahasa Melayu rendah, istilah ini datang pada masa Balai Pustaka, penerbit yang pelopornya adalah Belanda.
Sastra Melayu Rendah
Pada periode Balai Pustaka, Belanda mendiskriminasi semua terbitan, bahan bacaan, dan karya sastra yang tidak terbit dari Balai Pustaka. Mereka menyebut karya-karya itu dengan istilah sastra liar.
Menurut Andri Wicaksono dalam tulisannya, Pengkajian Prosa Fiksi (2017), sastra liar yang dimaksud adalah karya-karya sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa, di mana tulisannya memakai bahasa Melayu rendah.
Baca Juga: Sastra Wangi, Seksualitas dari Sudut Pandang Perempuan dalam Kesetaraan
Istilah bahasa Melayu rendah diciptakan oleh pemerintah Belanda untuk membedakan dengan karya-karya berbahasa Melayu tinggi yang menjadi ketetapan mereka. Ketetapan itu melahirkan Komisi untuk Bacaan Rakyat yang selanjutnya menjadi Balai Pustaka.
Karena tidak bisa terbit di Balai Pustaka, sastra karya Tionghoa di Indonesia mendapat tempat sendiri dengan didirikannya percetakan sendiri di tahun 1870-an. Era itu dimulai dengan dua karya, yaitu:
1. Lo Fen Koei milik Gouw Peng Liang.
2. Tjerita Oey See milik Thio Tjin Boen.
Persebaran Penulis Peranakan Tionghoa