Diam-diam 50 Persen Masyarakat Indonesia Alami Kelaparan Tersembunyi

15 September 2022, 19:15 WIB
Ilustrasi kelaparan. /Reuters/Mohamed al-Sayagih/

SUARA TERNATE - Tensi geopolitik dunia, serta inflasi yang meningkat tajam mendorong masalah ketahanan pangan dunia.

Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Prof Drajat Martianto menyebut bahwa meski kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik, namun terjadi penurunan ketahanan pangan nasional.

Menurut dia, posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi COVID-19. Dia menyebut, Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition, tiga masalah gizi sekaligus.

“Yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger)” ujar Drajat, dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, Kamis, 15 September 2022.

Hidden hunger yaitu berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya. Dia menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya 1 persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro (yang mengandung karbohidrat).

Yang menjadi masalah adalah hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan.

“Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran (yang mengandung zat gizi mikro)” ujar dia.

Baca Juga: Hilang Enam Tahun Lalu, Kucing Ini Kembali ke Pangkuan Orang Tuanya

“Mereka mengalami kelaparan tersembunyi. Disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, namun sesungguhnya dampaknya sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas,” jelasnya.

Secara nasional, lanjutnya, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.

“Penganekaragaman pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” ujarnya.

Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen. Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Baca Juga: 46,79 Persen Gunakan Ponsel, Lansia Masih Menjadi Pasar Potensial

Selama ini, imbuhnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam, Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A (KVA).

“Komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Ini ditunjukkan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun demikian, disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar,” tuturnya.

Dia mengatakan, fortifikasi terigu juga dihadapkan pada isu importasi fortifikan dan gandum sebagai pangan pembawa (vehicle) yang nyaris 100 persen impor, hambatan perdagangan serta efektivitas zat besi yang digunakan yang masih memerlukan bukti ilmiahnya di lapang.

“Untuk melengkapi fortifikasi wajib diperlukan strategi fortifikasi pangan skala kecil (small-scale fortification) pada pangan pokok seperti sagu, tepung jagung, tepung ubi kayu/mocaf dan minyak kelapa, minyak curah sawit. Strategi ini untuk menjamin agar tumbuh kembang anak Indonesia di setiap pelosok tanah air bisa berjalan optimal,” ujarnya.

Ia menambahkan, sebagai negara produsen beras terbesar ketiga di dunia fortifikasi beras untuk distribusi kelompok khusus (bantuan sosial, bantuan bencana alam) maupun voluntary secara komersial perlu dikaji lebih mendalam.

“Pertimbangannya, prevalensi AGB di Indonesia masih tinggi dan tidak hanya diderita rumahtangga miskin, sehingga diharapkan dapat efektif mencakup semua populasi karena beras dikonsumsi hampir semua orang Indonesia,” pungkasnya.

Editor: Ghazali Hasan

Sumber: IPB University

Tags

Terkini

Terpopuler