Di Era Pemerintahan Jokowi, Ekonomi Indonesia Bergantung Investor Asing

- 11 Mei 2024, 21:45 WIB
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (Tangkap Layar Ig@jokowi)
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (Tangkap Layar Ig@jokowi) /

SUARA TERNATE - Indonesia bukan hanya gagal menjadi negara yang mandiri pangan dan energi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, sektor ekonomi dan keuangan, nasib Indonesia sangat bergantung investor asing.

Untuk itu, Ekonom senior dari PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan mengatakan, jika ada pejabat negara yang menyebut fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, jangan dipercaya.

Adapun sebaliknya, secara fundamental, perekonomian Indonesia sangatlah lemah. Dibuktikan dari transaksi internasional, atau dinamakan transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit kronis.

"Transaksi berjalan hanya membaik sementara ketika harga komoditas melonjak tinggi, seperti pada triwulan III 2021 hingga triwulan I-2023," tutur Anthony, Jakarta, Sabtu, 11 Mei 2024.

Baca Juga: Optimis Pertumbuhan Ekonomi Nasional 7 Persen, Begini Alasan Menko Airlangga

Dengan begitu, Anthony menuturkan, harga komoditas kembali normal. Alhasil, transaksi berjalan Indonesia mencetak defisit sejak triwulan II 2023 hingga kini.

Terkait hal itu, asal tahu saja, transaksi berjalan adalah transaksi antara penduduk Indonesia dengan penduduk dunia, tidak termasuk transaksi modal atau finansial (investasi).

Sementara, neraca atau transaksi berjalan, terdiri dari tiga komponen, yaitu (neraca) perdagangan barang dan jasa, (neraca) pendapatan primer, dan (neraca) pendapatan sekunder.

Selain itu, ketika transaksi berjalan mengalami defisit artinya dolar AS dari Indonesia mengalir ke luar. Akibatnya, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan.

Selanjutnya, defisit transaksi berjalan, berarti aliran dolar AS dari Indonesia ke luar negeri lebih kencang ketimbang sebaliknya.

Baca Juga: Sri Mulyani Disebut Pakar Sebagai Bakal Calon Kepala Daerah Perempuan Yang Potensial

"Defisit itu harus diimbang dengan dolar AS masuk ke Indonesia. Baik melalui investasi langsung (PMA) atau portofolio yakni saham dan surat utang. Kalau tidak, rupiah anjlok terus," jelasnya.

Lebih lanjut, kata Anthony, untuk menyedot dolar AS, pemerintah melakukan jalan pintas yakni menumpuk utang luar negeri (ULN).

Sehingga, jangan heran jika jumlah ULN Indonesia terus membengkak dari 293,3 miliar dolar AS pada 2014, menjadi 423,4 miliar dolar AS pada puncaknya di September 2021.

"Ironinya, pemerintah menjadi mesin pencetak utang luar negeri terbesar. Bukan swasta. Kondisi ini membahayakan perekonomian Indonesia," katanya.

Baca Juga: Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Minta Jokowi Pansel KPK Tidak Berisi Titipan

Selanjutnya, porsi ULN dari pemerintah naik signifikan dari 123,8 miliar dolar AS pada akhir Desember 2014, menjadi 210,8 miliar dolar AS pada Januari 2021.

Adapun ULN swasta, termasuk BUMN, memang naik tapi lebih rendah ketimbang pemerintah. Yakni dari 163,6 miliar dolar AS menjadi 206,5 miliar dolar AS.

Seterusnya, tambah Anthony, investor asing mulai ‘dumping’ surat utang Indonesia (Surat Berharga Negara/SBN). Utang luar negeri pemerintah dan swasta, masing-masing turun menjadi 197,4 miliar dolar AS dan 194,8 miliar dolar AS, pada Februari 2024.

Editor: Randi Ishab

Sumber: Inilah.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah