Kolom: Melanjutkan Sastra Profetik

- 24 Februari 2023, 09:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi /Pixabay/

Melanjutkan Sastra Profetik

Oleh Noerjoso

Di tahun 1980-an jagad sastra dikejutkan oleh munculnya sastra profetik yang diusung oleh Kuntowijoyo. Sebelumnya, Kuntowijoyo mengemukakan gagasan tentang perlunya sastra transendental dalam kesempatan Temu Sastra pada 6-8 Desember 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Sastra profetik diawali oleh gagasan Kuntowijoyo tentang perlunya ilmu sosial profetik yang ia kemukakan pada acara Temu Budaya di tempat yang sama.

Kuntowijoyo adalah seorang sastrawan sekaligus sejarawan dan budayawan yang lahir di Yogyakarta, 18 September 1943 dan wafat pada 22 Februari 2005.

Cerpen-cerpennya pernah dinobatkan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas. Selain sastrawan, Kuntowijoyo adalah cendekiawan muslim yang sangat diperhitungkan keberadaannya.

Sastra profetik Generasi Awal

Kredo bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai seolah menjadi momok bagi para cendekiawan. Bertolak dari itulah Kuntowijoyo menganjurkan perlunya ilmu-ilmu sosial profetik.

Adalah fakta bahwa ilmu sosial yang ada saat itu mengalami kemandegan dan hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, tanpa memiliki keberanian untuk berusaha mentranformasikannya.

Sementara itu, realitas sosial yang berkembang menurut Kuntowijoyo adalah ke arah proses dehumanisasi akibat gagasan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang dibawa oleh ideologi pembangunan kala itu.

Masyarakat Indonesia mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.

Dari latar realitas sosial yang demikian itulah, Kuntowijoyo menyatakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah, ilmu sosial profetik harus berani mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.

Demikian pula diharapkan bahwa karya sastra sebagai produk pemikiran manusia tak boleh lepas dari permasalahan jamannya. Itu artinya bahwa karya sastra adalah cerminan dunia nyata versi penulisnya. Dan itu berarti bahwa karya sastra tidaklah berasal dari ruang hampa. Ia adalah produk dari dialektika kehidupan manusia itu sendiri.

Tuhan itu memang Maha Kuasa, tetapi menggugah kesadaran ketuhanan melalui sastra tidaklah cukup. Menurut Kuntowijoyo, justru Tuhanlah yang menginginkan supaya manusia bekerja untuk manusia, tidak hanya mengabdi pada Tuhan secara sempit.

Bagi-Nya kesadaran ketuhanan belum sempurna kalau tidak disertai kesadaran kemanusiaan. Sastra profetik menghendaki keduanya, kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan secara bersama-sama.

Sastra profetik tidak hanya menyerap dan mengekspresikan sesuatu, tetapi juga memberi arah realitas ke arah etika tertentu. Sebab itulah mengapa, sastra profetik merupakan sastra dialektik karena berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab, dan terlibat aktif dalam memandu sejarah kemanusiaan.

Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya jika dia sanggup memandang realitas dari suatu jarak tertentu. Dengan begitu, sastra membawa manusia dari belenggu realitas dan membangun realitasnya sendiri.

Realitas sastra adalah realitas simbolik, bukan realitas aktual dan historis sehingga ia relevan sepanjang jaman. Melalui simbol-simbol itulah, sastra memberi arah dan melakukan kritik terhadap realitas sebagai bagian dari nalar bersama.

Arah sastra profetik jaman Kuntowijoyo adalah mimpi Humanisasi karena ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita saat itu sedang menuju ke arah dehumanisasi. Dalam hal ini Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dehumanisasi ialah objektivikasi manusia (teologis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loneliness (privatisasi,individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual).

Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai oleh bawah sadarnya daripada olehkesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa dan budaya massa.

Kala itu, Kuntowijoyo mengajak sastra profetik ke arah Liberasi yang oleh beliau dideskripsikan dari apa yang disebutnya sebagai kekuatan eksternal dan kekuatan internal. Dalam Maklumat Sastra Profetik saat itu, Kuntowijoyo tidak membicarakan liberasi dari kekuatan eksternal, seperti kolonialisme, agresi oleh negara adikuasa, dan kapitalisme yang menyerbu negara berkembang.

Akan tetapi, Kuntowijoyo lebih menekankan adanya penindasan dan ketidakadilan internal yang ada atau pernah dialami oleh rakyat Indonesia, seperti penindasan politik atas kebebasan seni sebelum tahun 1965, penindasan negara atas rakyatnya yang dilakukan oleh rezim orde Baru, kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender.

Menguak Kekuatan Eksternal Liberasi Sastra Profetik

Pada masa lalu sastra profetik lebih memilih kekuatan internal liberasi. Sementara itu pada fase sekarang ini sepertinya kekuatan eksternal liberasi lebih kontekstual. Kekuatan eksternal itu adalah globalisasi, neo-kolonialisme, agresi oleh negara adikuasa, dan kapitalisme global yang telah bermuara pada krisis lingkungan global. Dimana kerusakan alam dan sosial sedang mengancam kelangsungan hidup manusia dan bumi sebagai rumah bersama semua makhluk.

Saat ini,masyarakat global mulai merasakan adanya Kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dengan skala yang sangat luas. Kenyataan tersebut mau tidak mau menuntut masyarakat global untuk bersatu guna menghadapinya dengan berbagai macam cara dan disiplin keilmuwan yang berbeda.

Menurut sekretaris Jenderal PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), Antonio Gutteres, dunia akan menyaksikan eksodus massal seluruh populasi dalam skala alkitabiah.

Menurutnya pula, krisis iklim telah menyebabkan permukaan laut naik lebih cepat dari 3.000 tahun lalu, yang membawa masalah ke hampir satu miliar orang. Beberapa negara terancam tenggelam.

Untuk itu perlu adanya usaha serius dalam pengurangan emisi karbon, mengatasi masalah kemiskinan dan mengembangkan undang-undang internasional baru untuk melindungi mereka yang kehilangan tempat tinggal, bahkan tanpa kewarganegaraan.

Kenaikan permukaan laut akan melipatgandakan ancaman dengan merusak kehidupan, ekonomi dan infrastruktur hasil pembangunan, yang tentu saja dapat berimplikasi pada perdamaian dan keamanan global.

Saat ini kenaikan permukaan laut yang signifikan sudah tidak dapat dihindari. Dan akan terjadi persaingan yang semakin ketat untuk mendapatkan air tawar,tanah, dan sumber daya lainnya.

Kompilasi data terkini dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan bahwa permukaan laut telah naik dengan cepat. Kenaikan permukaan air laut tersebut setidaknya akan mengancam orang-orang yang tinggal di China, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia, Thailand, Filipina dan Jepang.

Masih menurut Antonio Gutteres, untuk mengurangi dampak bencana tersebut, yang paling utama adalah sikap kita terhadap pembakaran bahan bakar fosil dan emisi gas yang memerangkap panasperlu diubah secara drastis.

Membatasi konsumsi bahan berbahaya dan beralih ke energi yang lebih berkelanjutan dan bersih sangat penting jika kita ingin menghindari perendaman jangka panjang. Selain itu, kebutuhan akan pengelolaan air juga menjadi semakin mendesak untuk mencegah perang.

Menghadapi krisis lingkungan tersebut dunia terbelah menjadi dua pemikiran utama yaitu pemikiran ekologi modern di satu pihak dan pemikiran Ekotheologi di pihak yang lain. Pemikiran ekologi modern menganggap krisis lingkungan bukanlah kegagalan kapitalisme namun justru kapitalisme dan modernisasi adalah jalan keluar bagi krisis lingkungan. Para pemikir ekologi modern menolak pandangan the radical greens bahwa modernisasi industri harus ditinggalkan sama sekali.

Kerusakan lingkungan bukanlah hambatan, melainkan menjadi kesempatan baru bagi pertumbuhan ekonomi, oleh karena kerusakan lingkungan tersebut akan menjadi daya dorong munculnya produk-produk yang ramah lingkungan, seperti mobil ramah lingkungan, teknologi tanpa limbah, proses pemanasan baru, produk daur ulang dan sebagainya .

Saat ini gagasan modernisasi ekologi telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat urban seperti naik sepeda ke tempat kerja, naik kendaraan dengan rekan lainnya, daur ulang sampah, membuat kompos. Ini semua adalah bentuk kesadaran semu yang berusaha mengintegrasikan hidup dalam negara industri pada satu sisi dan pada sisi lainnya berusaha untuk mengurangi tingkat pencemaran dalam skala rumah tangga saja.

Penganut modernisasi ekologi juga merespon krisis lingkungan dengan cara menetapkan kawasan koservasi dimana manusia dilarang beraktivitas pada daerah tersebut. Akibatnya masyarakat diusir dari kawasan yang sebelumnya mereka telah terbiasa untuk berinteraksi dengan kawasan tersebut.

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa gagasan modernisasi ekologis menyimpan persoalan keadilan lingkungan dan keadilan antar generasi. Mereka yang sering menjadi korban dari ketidakadilan lingkungan adalah kelompok marjinal ataupun masyarakat lokal yang tidak memiliki akses pada proses pembuatan keputusan publik.

Bentuk ketidakadilan lainnya yang tidak diperhatikan oleh teori modernisasi ekologi adalah struktur perdagangan internasional yang memberikan tekanan pada ekosistem di negara berkembang.

Modernisasi ekologi sebenarnya hanya dimaksudkan untuk dapat memproduksi lebih banyak barang dan untuk menjangkau konsumen yang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan tanpa memperhatikan adanya tekanan kepada ekosistem di negara-negara berkembang yang menyediakan bahan mentah.

Pandangan modernisasi ekologi tidak melihat ketimpangan dalam sistem ekonomi politik internasional yang membuat masyarakat di negara maju menikmati konsumsi barang-barang industri sementara beban untuk konservasi ditimpakan kepada negara-negara berkembang terutama yang memiliki hutan tropis yang luas seperti Brazil, Indonesia, dan Kongo. Pengalihan beban ini tampak pada mekanisme perdagangan karbon (carbon trading) yang direkomendasi oleh modernisasi ekologis.

Meskipun asumsi yang dibuat oleh teoritisi modernisasi ekologis tampak menarik dan memberikan solusi atas krisis lingkungan namun teori ini memiliki kelemahan karena pada kenyataanya industri hanya akan melihat polusi sebagai inefisiensi pada proses produksi semata dan kemudian menerapkan teknologi ramah lingkungan sebagain bagian dari penghematan biaya.

Pandangan para penganut Ekotheologi

Para penganut ekotheologi berpandangan bahwa keyakinan antroposentrisme yang dianut oleh manusia modern (termasuk penganut modernisasi ekologi)adalah biang kerok munculnya krisis lingkungan saat ini. Antroposentrisme adalah cara pandang yang menganggap bahwa manusia merupakan pusat ekosistem.

Bagi penganut pandangan antroposentrisme, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya. Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia (termasuk di dalamnya adalah alam semesta dan Tuhan) hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tak memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu, alam dilihat hanya sebatas objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia.

Untuk memulihkan kembali bumi sebagai rumah bersama semua makhluk,para penganut ekotheologi menawarkan pandangan baru tentang alam, yaitu memandang alam sebagai yang teofani. Artinya, masyarakatmodern perlu meletakkan kembali pemahamannya tentang eksistensi diri, alam dan Tuhan serta bagaimana relasi antar ketiganya bisa berlangsung harmoni.

Pendek kata, Tuhan adalah Pusat sedangkan alam dan manusia merupakan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan. Itulah esensi dari ajaran tauhid dimana alam, manusia dan Tuhan diramu dalam relasi yang holistik.

Melalui kerangka ini, para penganut ekotheologi sebetulnya hendak mengajak kita untuk merenungkan kembali bahwa hakikat manusia adalah bagian integral dari alam semesta, sedangkan alam semesta adalah cerminan dari kekuasaan Ilahi. Maka dalam konteks inilah, menempuh langkah untuk berdamai dan hidup harmoni dengan alam adalah jalan yang terbaik.

Implikasi Gagasan para penganut ekotheologi adalah lahirnya gerakan-gerakan etika environmental. Etika enviromental adalah gerakan penyadaran, perawatan dan penyelamatan lingkungan dengan berbasis pada etika-etika yang berlaku.

Gagasan para penganut ekotheologi tentang teologi lingkungan sebetulnya juga saling bertautan dengan epistemologi ekologi baik klasik maupun kontemporer yang sepakat dengan pandangan bahwa “ada nilai sakralitas yang melekat pada alam.”

Penutup

Akhirnya, etika profetik saat ini harus meluaskan diri pada tema-tema krisis lingkungan yang mengancam bumi sebagai rumah bersama semua makhluk. Oleh karena itu, dimengerti orang atau tidak dimengerti, kandungan sastra perlu ditingkatkan dengan etika profetik yang menyuguhkan tema-tema krisis lingkungan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan hal tersebut.

Konsep-konsep etika profetik yang telah dipaparkan di atas memang analitis, Akan tetapi, sastra harus tetap deskriptif-naratif dan tidak analitis. Hal itu karena sastra bukanlah reportase jurnalistik, bukanlahtulisan ilmiah, dan bukan pula buku filsafat. Dalam konteks sastra profetik Kuntowijoyo, sastra tetaplah sastra.

Dan agar sastra tetap deskriptif-naratif sekaligus mengekspresikan konsep-konsep etika profetik. Maka menulis sastra dapat dilakukan dari dalam dan dari bawah. Menulis dari dalam artinya adalah peristiwa-peristiwa dipahamisebagaimana tokoh-tokohnya memahami dunianya sendiri dan bukan sebagaimana konsep etika profetik.

Pengarang harus membiarkan tokoh-tokoh imajinernya merespon pengalaman-pengalaman konfliknya sendiri. Sementara itu, menulis sastra dari bawah artinya pengarang tidak berangkat dengan teori dan konsep etika profetik, seperti teori konflik dan konsep kelas yang merangkai karya sastra.

Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren dengan tema pada konsep etika profetik serta plotnya(penuturan yang runtut, jalan cerita yang masuk akal). Intuisilah yang nantinya akan membimbing pengarang menuju koherensi itu. Hal ini sangat berbeda dengan ilmuwan yang dituntut menulis berdasarkan teori dan konsep yang dapat menuntun penelitiannya.

Akhir kata, baik menulis sastra dari dalam maupun menulis sastra dari bawah ala sastra profetik, keduanya cocok untuk penulisan prosa fiksi, seperti cerpen, novel, roman, naskah drama, dan naskah film karena keduanya berhubungan dengan tokoh dan penokohannya, peristiwa-peristiwanya, pelukisannya, tema, dan plotnya.

Setidaknya,substansi dari sudut pandang menulis sastra dari dalam dan menulis sastra dari bawah juga menjadi jiwa bagi penulisan puisi. Kedua sudut pandang tersebut menjadi perspektif aku-lirik dalam puisi liris melalui tokoh dan penokohannya dalam puisi balada, walaupun tidak setajam pelukisannya dalam prosa fiksi.***

*Penulis adalah cerpenis dan penggiat 'Komunitas Wakaf Oksigen', tinggal di Bandongan-Magelang.

Editor: Ahmad Zamzami


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x