Radio

- 11 September 2021, 20:49 WIB
Ilustrasi. Radio kuno.
Ilustrasi. Radio kuno. /Pixabay/OProprioMarco/

Oleh: Asghar Saleh

SUARA TERNATE - Magrib baru saja berlalu ketika Sultan Tidore Zainal Abidin Sjah mengumpulkan para bobato dan kepala kampung di mesjid Kesultanan.

Hari itu, 17 Agustus 1956, Zainal mengumumkan keputusan Presiden Soekarno mengangkat dirinya sebagai Gubernur Irian Barat sekaligus menetapkan Soa Siu sebagai ibukota. Para bobato diminta “melihat” hari baik untuk upacara “Tola Gumi”. Sebuah ritual dilaksanakan untuk membuka lahan baru bagi ibukota.

Imam Abdurahman memimpin doa. Tamako diayun menebang pohon kelapa. Lokasi baru itu diberi nama Indonesiana yang berarti “Indonesia ada di sana”. Ada di sana itu - Papua. Dari aspek geopolitik, ini sebuah maklumat penting merujuk tanah itu - tanah Papua - yang akan direbut kembali itu adalah bagian dari Indonesia yang dirampas Belanda.

Pemerintah menetapkan nama Irian Barat tapi masyarakat Tidore menambahkannya dengan menyebut provinsi “perjuangan” Irian Barat. Perjuangan menegaskan sebuah tekad yang tak surut.

“Kata - perjuangann - bagi masyarakat Tidore sangat penting sebab menurut mereka, dari Tidore-lah, Irian Barat diperjuangkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari NKRI,” ungkap Mus Huliselan, Guru Besar yang meneliti sejarah dan budaya Maluku.

Baca Juga: Banyak Penumpang Kapal Tak Tertulis di Manifest, Basarnas Ternate: Perlu Dievaluasi

Sebulan setelah pertemuan itu, Zainal dilantik sebagai Gubernur berdasarkan surat keputusan Presiden No. 412/1956. Berbagai persiapan disegerakan untuk menjalankan pemerintahan.

Kantor Gubernur, markas Polisi Negara, kantor pemerintah lainnya dan asrama TNI-Polri dibangun. Agar mempermudah akses transportasi, dermaga laut Goto juga disiapkan. Aroma perang berhembus makin kencang. Indonesia memutuskan menggelar operasi militer merebut Irian Barat setelah berbagai perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. 

Mengapa Indonesia memilih Tidore? Menurut saya, ini pilihan diplomasi yang sangat krusial dan menentukan sebuah kemenangan. Pertalian sejarah dan budaya antara Tidore dan Irian Barat terentang panjang sejak zaman keemasan Sultan Nuku.

Orang-orang Papua bahkan mendeklarasikan Nuku sebagai Sultan atas tanah mereka saat “Prins Rebel” ini berkeliling menggalang kekuatan melawan Belanda jauh dari tanah kelahirannya. Karena itu, Tidore selalu menempatkan Papua sebagai saudara dalam hubungan yang egaliter dan penuh cinta.

“Tanah, batu, pohon yang ada di atas tanah ini termasuk nyawa kami, kami sedia berikan untuk pemerintah, untuk Irian Barat dapat segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”, titah Zainal yang menyulut semangat orang-orang Tidore.

Baca Juga: Setelah Pratiwi Sudarmono, Kenapa Astronot Indonesia Tak Pernah Lagi Ikut Misi Ruang Angkasa?

Komando Mandala sebagai bagian dari perang merebut Irian Barat didentumkan dengan nyaring. Tapi bagaimana propaganda politik dan maklumat perang ini bisa “terdengar” oleh orang-orang Papua dan juga Belanda nun jauh di seberang laut?. 

Masa itu, telekomunikasi belum semewah saat ini. Pesan biasanya dibawa kurir. Surat menyurat butuh waktu berminggu-minggu untuk sampai ke tujuan. Yang terpikirkan adalah membuat sebuah stasiun radio.

Bukankah Proklamasi Kemerdekaan juga disiarkan secara sembunyi-sembunyi lewat radio. Pemerintah sudah punya stasiun sendiri. Radio Republik Indonesia adalah media perjuangan yang melintas batas geografis Indonesia yang super luas. 

Saya membayangkan Guglielmo Marconi akan tersenyum bangga melihat temuannya berjasa merubah nasib banyak peradaban. Kemanusiaan dipersatukan lewat suara yang melintas benua.
Kadang kita tersenyum di depan kotak kecil segi empat dengan antena yang bisa ditarik ulur itu. Tak jarang ikut menangis. Padahal kita tak saling melihat. Radio adalah benda ajaib masa itu. 

Banyak revolusi untuk pembebasan dibakar lewat siaran-siaran radio. Di Jerman, Uni Sovyet, Amerika Latin dan banyak tempat, revolusi bermula dari radio.

Baca Juga: Bayi Matahari Berusia 600 Juta Tahun Ditemukan

Kita tentu ingat dengan bangga pidato Bung Tomo menyalakan api juang arek-arek Suroboyo, pidato-pidato Bung Karno yang menyihir, atau bahkan sebuah peristiwa spektakuler abad 19 saat Gusti Nurul, puteri Mangkunegaran menari di pesta penikahan Puteri Juliana dan Pangeran Bernhard.

Hari itu, 6 januari 1937, Gusti Nurul menari-kan “Sari Manunggal” di Istana Noordeinde dengan iringan suara gamelan Ki Kanyut Mesem yang disiarkan langsung lewat radio Solosche Radio Vereeniging dari pura Mangkunegaran Solo. Ribuan kilometer jarak antara Amsterdam dan Solo. Radio menghilangkan jarak yang jauh itu. 

Radio membuat kita makin mudah menggoreskan sejarah baru. Hegel menyebut, sejarah manusia digerakkan oleh perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Ada “identitas” yang dipertaruhkan. Karena itu, siaran radio masa itu cenderung satu arah. Tak ada “cover both side”. Tak ada netralitas. Yang ada hanya kepentingan yang terus diperjuangan dengan guyub.

Siaran radio didominasi propaganda dan pidato-pidato yang menegasi “kita” harus menang. Suara-suara yang dipancarluaskan radio kadang lebih tajam dari belati atau dentuman senapan. Ia memantik kesadaran kolektif. Menyatukan gelora yang berserakan.

Tak heran, stasiun radio selalu jadi target prioritas untuk dikuasai jika terjadi sebuah revolusi atau perang berebut pengakuan.

Supardi Abdullah, jurnalis senior Maluku Utara menuliskan sebuah testimoni berkaitan sejarah RRI Ternate; stasiun itu sering dibombardir “musuh” entah dengan tembakan atau pengeboman dengan mustang-mustang yang beterbangan di langit Ternate.

Baca Juga: Bintang Emon Cari Kata Kunci 'Prestasi KPI' di Google: Enggak Ada Hahaha!

RRI Ternate berdiri lima tahun setelah Indonesia menyatakan diri merdeka sebagai sebuah bangsa. Dia jadi corong utama menyebarkan semua informasi berkaitan dengan kebijakan politik dan situasi pemerintahan di pulau Jawa. Masa itu, politik jadi panglima. Seni mengendalikan pikiran sedang dalam proses menjadi ilmu.   

Setahun setelah pembentukan provinsi perjuangan Irian Barat, sebuah stasiun radio milik RRI didirikan di Soa Siu. Gubernur Zainal menyambut dengan girang. Sebuah tiang menara tinggi dipancang di halaman Istana Sultan.

Agar siaran “radio” bisa terdengar hingga daratan Papua, sebuah antena pemancar ditempatkan di desa Umera dekat Gebe, Halmahera Tengah. RRI jadi bagian dari unit-unit komando peperangan - satu garis komando dalam joint signal centrel KOTI.

Presiden Soekarno saat berkunjung ke Soa Siu di tahun yang sama sempat berpidato mengobarkan revolusi merebut Irian Barat di stasiun radio perjuangan ini. 

Radio di masa lalu memiliki wajah yang menyatukan. Kita mendengar sambil menyimpan sesuatu yang baru - yang terdengar dari radio. Entah itu nama orang, nama kota, sebuah pentas, sebuah tragedi, sebuah kemenangan atau   pengingat waktu. Semuanya tersimpan dalam kenangan.

Pada suatu masa setelah perang usai, kita pernah berdebar menunggu berita radio. Ada informasi harga sembako, jadwal kapal, berita duka, cuaca, panggilan kerja, informasi lulus sekolah, lagu kenangan dan suara-suara penyiar bernada bariton atau centil yang memanjakan kuping.

Ada sosok Om dan Bibi Desa yang melegenda atau Om Kota yang hadir saban sore menyapa pendengar.

Kita mengenang masa ketika harus menukar koin dan antri di telepon umum hanya untuk menyapa penyiar favorit atau memesan lagu kesukaan. 

Kita mengingat semuanya tetapi tak sadar ada yang terus berubah. Kemajuan tekhnologi informasi melenyapkan banyak keasyikan masa lalu. Radio tak lagi jadi “kebutuhan”.  Komersialisasi ruang privat memberi banyak pilihan. Saat ini, fragmentasi sosial kita makin tercerai berai dengan kemunculan internet.

Orang berkerumun secara maya jika punya kesamaan pikiran. Tirani komunal dibentuk untuk mengukuhkan kepentingan kelompok.

Francis Fukuyama dalam best sellernya “Identitas” memberi justifikasi bahwa gagasan masing masing kelompok untuk menguatkan identitas sendiri yang tak bisa dijangkau orang luar tercermin dari penggunaan istilah “pengalaman hidup” yang makin marak.

Dia berbeda dengan “pengalaman”. Anomali keduanya merujuk pada perbedaan antara kata dalam bahasa Jerman, “erfahrung” dan “erlebnis”. 

Erfahrung atau pengalaman menunjuk pada sesuatu yang bisa dibagikan. Sedangkan “erlebnis” yang memasukkan kata “Leben” atau hidup berarti persepsi subyektif dari pengalaman yang tak bisa dibagikan kepada yang lain.

Ketertutupan yang sumir ini menyebabkan narsisme tumbuh subur. Kebenaran timbul tenggelam dihimpit ingatan dan lupa. Dan percakapan yang jadi poros peradaban tetiba raib dari rumah besar kemanusiaan.

Paolo Coelho, novelis Brazil yang banyak menuliskan kisah-kisah inspiratif menyebut; “Yang paling penting dalam semua hubungan manusia adalah percakapan, tapi orang tidak bicara lagi dan mereka tidak duduk dan saling mendengarkan.

Mereka pergi ke bioskop, nonton televisi, mendengarkan radio, membaca buku, tetapi mereka hampir tidak pernah bicara. Jika ingin mengubah dunia, kita harus kembali ke waktu ketika prajurit berkumpul di sekitar api unggun dan saling berbagi cerita. ***

Editor: Purwanto Ngatmo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah