Gara-gara Gas Air Mata, Tragedi di Lima, Peru Bermula

2 Oktober 2022, 10:05 WIB
Sebuah foto di koran lokal Peru menunjukkan tembakan gas air mata di Estadio Nacional Mei 1964. (BBC) /

SUARA TERNATE - Tragedi Kanjuruhan Malang, Sabtu, 1 Oktober 2022 membuka kembali sejarah kelam kematian fans sepakbola di dunia. Tragedi terburuk sepanjang sejarah sepakbola terjadi di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 24 Mei 1964.

Sejarah mencatat, lebih dari 300 orang meninggal dunia.

Peristiwa ini terjadi saat pertandingan antara Peru dan Argentina. Pertandingan itu ditonton lebih dari 53.000 orang. BBC mencatat angka itu sedikit di atas 5 persen dari populasi Kota Lima pada saat itu.

Kronologi yang tercatat menyebut keputusan wasit asal Uruguay, Angel Eduardo Pazos yang menganulir gol dari Peru. Gol tersebut terjadi di sisa enam menit pertandingan.

Baca Juga: Eks Waketum PSSI: Tragedi Kanjuruhan Lebih Parah dari Tragedi Heysel dan Hillsborough

Tak terima dengan keputusan wasit, penggemar tuan rumah marah. Bentrokan antarsuporter terjadi.

Polisi Peru menjawab bentrokan itu dengan tembakan gas air mata ke tribun utara stadion. Harapan untuk menghalau kericuhan itu salah.

Para suporter justru panik. Massa bergerak dalam jumlah yang besar. Eksodus menghindari gas air mata.

Suporter mencari jalan keluar. Nahas, pintu untuk akses keluar terkunci.

Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan, IPW Desak Kapolri Cabut Izin Penyelenggaraan Kompetisi BRI Liga 1

Meski akhirnya pintu baja yang terkunci itu jebol, suporter yang berhimpitan saling menimpa dan terinjak-injak.

Dari laporan yang beredar, pendukung timnas Peru yang meninggal terjadi karena pendarahan internal dan kehabisan napas.

Akibat peristiwa ini, otoritas Peru melaporkan setidaknya 328 orang meninggal dunia. Sementara itu, 500 orang lain terluka.

Baca Juga: Buntut Tragedi Kanjuruhan Malang, PT LIB Setop Sementara BRI Liga 1

Meski begitu, data penonton bola yang meninggal ini diklaim bukan jumlah sebenarnya. Bahkan ada dugaan ada luka tembak yang dilakukan polisi.

Jorge Salazar, seorang jurnalis dan profesor yang telah menulis sebuah buku tentang bencana tersebut, mengatakan bahwa masyarakat Peru pada saat itu sangat bergejolak.

"Di Peru, orang berbicara untuk pertama kalinya tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan pekerja dan partai komunis. Kiri cukup kuat, dan ada bentrokan permanen antara polisi dan rakyat," kata Salazar dikutip dari BBC.

Banyak dari para penggemar sepak bola yang lolos dari gas air mata, tentu ingin membalas dendam kepada polisi. Dua polisi dilaporkan tewas di dalam stadion, dan pertempuran berlanjut di jalan-jalan di luar.

Dari tragedi ini, Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.

Sementara itu, Hakim Castaneda didenda karena laporannya terlambat enam bulan, dan karena tidak menghadiri otopsi terhadap 328 jenazah tragedi Lima.

Editor: Ghazali Hasan

Sumber: BBC

Tags

Terkini

Terpopuler