“Ini datang dan berakar pada era kolonialisme di mana masyarakat jajahan dibangun secara hirarkis,” jelas Bonnie Triyana dalam kesempatan diskusi yang sama dengan Hassan Wirajuda.
Misalnya saja, siasatnya mengumpulkan perwakilan dari wilayah Indonesia timur dalam sebuah kenferensi di Malino, untuk membangun negara bagian. Kemudian selang hampir tiga bulan, mereka menyelenggarakan sebuah konferensi di Pangkalpinang. Yang hadir, perwakilan dari golongan Tionghoa, Arab, Indo dan Indis. Mereka menyetujui keputusan Konferensi Malino.
Dari situ muncullah negara-negara feredal seperti: Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Djawa Timur, dan seterusnya. Belanda juga membentuk daerah otonom: Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, dan Djawa Tengah.
Tapi ini tidak sama dengan mendorong untuk penentuan nasib sendiri, karena perwakilan dari wilayah dan negara yang disebutkan di atas, ialah orang yang memihak ke Belanda. Di sini rakyat Indonesia akan saling berhadapan. Identifikasi kawan-lawan semakin kabur.
Kedatangan Kembali
Apa yang membuat Belanda melakukan dekolonisasi dan menolak kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945? Adakah dasar hukum yang menyebut Belanda berhak menduduki kembali bekas jajahannya? Ataukah Sekutu membolehkan Belanda kembali menduduki Indonesia?
Kita tahu Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Sekutu sebelumnya sudah menyetujui Piagam Atlantik yang bersuara menolak bentuk kolonialisme, dan mendukung kemerdekaan untuk setiap negara, karena itulah tanpa perang, Amerika memerdekakan Filipina, dan tanpa perang juga Inggris memerdekakan Burma dan India.
Sementara Piagam PBB memuat prinsip “penentuan nasib sendiri”, dan dengan proklamasi, Republik Indonesia sudah menegaskan kemerdekaannya. Ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintah.
Lalu apa sebenarnya tujuan Belanda datang kembali?
“Motivasi utama Belanda setelah berakhirnya perang dunia kedua untuk menduduki kembali Indonesia adalah eknomi,” jawab Hassan Wirajuda atas pertanyaannya sendiri.