Sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana memberi saran, sebaiknya permintaan maaf pada masa Revolusi diletakkan dalam konteks pertanyaan, apakah Belanda sebagai sebuah entitas negara yang masih mengakui Indonesia sebagai jajahannya atau mengakui menginvasi sebuah negara yang merdeka?
Komentar lebih kalem muncul dari seorang sejarawan Rushdy Hoesein, dengan kalimat populer, “forgive but never forget.” Dalam penuturannya, ia mengambil posisi seperti itu kala menemani perwakilan veteran Indonesia menghadiri seremoni 50 tahun “Divisi 7 Desember” Belanda.
Baca Juga: Ismail Marzuki Si Komponis Betawi 'Perpustakaan Terbesar' Generasi Baru
Pertemuan itu berlangsung di Belanda. Rushdy melihat hubungan kedua mantan pasukan perang yang dulunya saling tempur, terlihat hangat dan akrab. Tak ada kebencian. “Apa yang kami bicarakan bukan mengenai masa lalu yang penuh dengan tangis, air mata, darah dan keringat, tetapi hal-hal yang baik terutama kemajuan dari kedua negara ini.”
Sementara jika menyoroti hasil penelitian tim independen Belanda yang sudah berjalan sejak 2017 itu, menyebut bahwa serangkaian peristiwa pada periode 1945 - 1949 adalah perang (war), bukan armed conflict.
“Tidak heran kalau hasil penelitian menyamakan tanggungjawab negara agresor dengan Indonesia yang melakukan self defense,” kata Hassan Wirajuda.
Padahal menurut piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) – di mana Belanda sejak awal menjadi anggota – tindakan agresi adalah ilegal, dan self defense memang diperbolehkan.
Perang dan Perundingan
Hasil penelitian tim independen Belanda yang sudah berjalan sejak 2017 itu, menyebut bahwa serangkaian peristiwa pada periode 1945 - 1949 adalah perang (war), bukan armed conflict.
“Tidak heran kalau hasil penelitian menyamakan tanggungjawab negara agresor dengan Indonesia yang melakukan self defense,” kata Hassan Wirajuda.