Sastra Wangi, Seksualitas dari Sudut Pandang Perempuan dalam Kesetaraan

- 24 November 2021, 07:35 WIB
Ilustrasi. Istilah sastra wangi mulanya ada setelah novel Saman, karya Ayu Utami, terbit di tahun 1999.
Ilustrasi. Istilah sastra wangi mulanya ada setelah novel Saman, karya Ayu Utami, terbit di tahun 1999. /Pixabay/Dantegrafico/

SUARA TERNATE - Istilah sastra wangi mulanya ada setelah novel Saman, karya Ayu Utami, terbit di tahun 1999. Dasar kemunculan istilah ini ialah tema yang diusung oleh para penulisnya adalah seks.

Novel seperti ini menjadi sarana penulis dalam menyampaikan ideologi dan cara pandang feminis.

Bagaimana Sastra Wangi Muncul?

Novel Saman milik Ayu Utami menjadi buah bibir dan memunculkan kontroversi dalam dunia sastra. Kisahnya seputar Wis, seorang pastor yang mengalami peristiwa magis berturut-turut hingga mengubah identitasnya menjadi Saman.

Baca Juga: Meski Tabu di Korea Selatan Namun Jamak Perselingkuhan di 'The World of The Married'

Cerita berlanjut menuju persahabatan empat orang perempuan dan hubungan seks. Sang penulis menarasikan hubungan badan dengan rinci dan mendeskripsikan alat-alat vital dengan vulgar. Hal demikian dilihat tabu oleh sastrawan dan mereka yang berpandangan konservatif.

Oleh sebab itu, label sastra wangi muncul. Label ini juga muncul karena pengaruh media dan siaran yang erat dengan budaya patriarki. Istilah itu kerap memunculkan rasa risih pada sastrawan perempuan, seakan cara berekspresi dalam bentuk sastra masih terikat oleh gender, bukan kualitas.

Belum lagi perbincangan yang menganggap novel seperti itu seolah film yang dikonversi menjadi tulisan, beberapa yang lain pun menganggap tulisan demikian sarat akan pornografi. Diekspresikan dengan frontal dan terbuka, hal-hal tabu di dalam tulisan menjadi alasan mengapa karya disebut "wangi".

Baca Juga: Frekuensi Hubungan Sex Ideal Itu Berapa Kali sih?

Halaman:

Editor: Ghazali Hasan

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x