Sastra Karya Tionghoa di Indonesia, Sastra Liar Melayu Rendah yang Belum Diberi Tempat dalam Sejarah Kita

26 November 2021, 15:22 WIB
Ilustrasi. Sastra karya Tionghoa di Indonesia atau sastra peranakan Tionghoa biasa dikenal dengan "sastra Melayu rendah". /Pixabay/Jarmoluk/

SUARA TERNATE - Sastra karya Tionghoa di Indonesia atau sastra peranakan Tionghoa biasa dikenal dengan "sastra Melayu rendah". Menggunakan bahasa Melayu rendah, istilah ini datang pada masa Balai Pustaka, penerbit yang pelopornya adalah Belanda.

Sastra Melayu Rendah

Pada periode Balai Pustaka, Belanda mendiskriminasi semua terbitan, bahan bacaan, dan karya sastra yang tidak terbit dari Balai Pustaka. Mereka menyebut karya-karya itu dengan istilah sastra liar.

Menurut Andri Wicaksono dalam tulisannya, Pengkajian Prosa Fiksi (2017), sastra liar yang dimaksud adalah karya-karya sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa, di mana tulisannya memakai bahasa Melayu rendah.

Baca Juga: Sastra Wangi, Seksualitas dari Sudut Pandang Perempuan dalam Kesetaraan

Istilah bahasa Melayu rendah diciptakan oleh pemerintah Belanda untuk membedakan dengan karya-karya berbahasa Melayu tinggi yang menjadi ketetapan mereka. Ketetapan itu melahirkan Komisi untuk Bacaan Rakyat yang selanjutnya menjadi Balai Pustaka.

Karena tidak bisa terbit di Balai Pustaka, sastra karya Tionghoa di Indonesia mendapat tempat sendiri dengan didirikannya percetakan sendiri di tahun 1870-an. Era itu dimulai dengan dua karya, yaitu:

1. Lo Fen Koei milik Gouw Peng Liang.
2. Tjerita Oey See milik Thio Tjin Boen.

Persebaran Penulis Peranakan Tionghoa

Tiongkok tidak terlampau diketahui, bahkan dianggap asing di Indonesia. Peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia akhirnya membuat satu histori bernuansa Indonesia, melalui tokoh-tokoh yang hidup dengan keadaan seperti mereka dan persoalan yang mirip juga dengan mereka.

Sebagai perantau dan kaum minoritas di Indonesia, etnis Tionghoa tersebar di beberapa wilayah, hidup bersama, dan ada pula yang menikah dengan warga lokal. Bahasa mereka sehari-hari adalah peralihan dan penyesuaian dengan bahasa ibu mereka. Ini berpengaruh pada karya sastra mereka.

Di wilayah Jawa, penulis peranakan Tionghoa, antara lain:

1. Lie Kim Hok
2. Boen Sing Hoo
3. Tan Teng Kie
4. Tan Hoe Lo

Sementara di wilayah Sumatera ada Na Tian Piet. Thjit Liap Seng karya Lie Kim Hok terinspirasi dari novel Perancis, Les Tribulations d'un Chinois en Chine karya Jules Verne dan novel Belanda, Klaasje Zevenster karya J. van Lennep.

Baca Juga: Ini Penulisan Kata dalam Bahasa Indonesia yang Kerap Salah Kita Jumpai

Perluasan Diskriminasi Karya oleh Belanda

Untuk memperkuat otoritas, Belanda bukan cuma mendiskriminasi sastra peranakan Tionghoa, namun juga menolak setiap bacaan yang di dalamnya terdapat kritik sosial atau ajakan pada masyarakat untuk melawan penjajah.

Beberapa tulisan lain yang merupakan sastra Melayu rendah adalah:

1. Mata Gelap
2. Student Hidjo
3. Syair Rempah-Rempah
4. Rasa Merdeka karya Mas Marco

Ada pula Semaun dengan tulisannya yang bertajuk Hikayat Kadiroen.

Semasa berkembang, Belanda melanjutkan diskriminasi dan penggolongan terhadap sastra Melayu rendah. Tidak hanya pada peranakan Tionghoa, tetapi juga kepada semua sastrawan yang memasukkan semangat kebangsaan dalam tulisannya.

Keberadaan Sastra Peranakan Tionghoa Masa Kini

Hingga kini, sastra peranakan Tionghoa tetap terpinggirkan, bahkan terabaikan. Tulisan mereka tidak masuk dalam sejarah sastra Indonesia, seolah memutuskan atau menghilangkan beberapa mata rantai.

Kualitas memang tidak tinggi, namun karya mereka berhasil menggambarkan segi budaya Tionghoa yang unik. Beberapa peneliti sastra seperti Nio Joe Lan, Leo Suryadinata, dan Pramoedya Ananta Toer masih mengeluhkan masalah ini.

Selain itu, struktur teks karya sastra peranakan Tionghoa juga mengusung gagasan moralitas dalam mencapai keseimbangan dan harmonisasi dengan lingkungan. Gagasan konstruksi manusia ideal yang disampaikan mampu menciptakan harmonisasi dan keseimbangan bersama alam.

Namun, pengakuan terhadap karya mereka belum juga dicantumkan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Indonesia Modern masih dianggap baru ada di tahun 1918, saat akhir Perang Dunia I. Masyarakat hanya mengenal Siti Nurbaya yang terbit di masa awal Balai Pustaka.

Dianggap perantau, tulisannya pun menggunakan bahasa Melayu rendah. Dua poin itu menjadi alasan mengapa karya mereka tidak diberi tempat dalam sejarah sastra Indonesia, yang seharusnya bukan jadi penghalang. Sastra karya Tionghoa di Indonesia apa saja yang Anda ketahui?***

Editor: Ghazali Hasan

Tags

Terkini

Terpopuler