Permohonan Maaf Belanda kepada Indonesia atas Kejahatan Masa Lalu yang Melingkupinya

27 Februari 2022, 10:14 WIB
Dok. Duta Besar (Dubes) RI untuk Belanda, Mayerfas, menghadiri acara Pembukaan Pameran Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Rijksmuseum Belanda pada Kamis (10/2/2022). (Antara / Dokumentasi KBRI Den Haag) (Antara / Dokumentasi KBRI Den Ha) /

SUARA TERNATE - Baru-baru ini Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, menyampaikan permohonan maaf kepada Indonesia atas kekerasan yang terjadi di masa Revolusi antara tahun 1945-1949 , setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Permohonan maaf itu ia sampaikan setelah tim peneliti independen dari Insititut Kerajaan Belanda untuk KITLV (Kajian Asia Tenggara dan Karibia), NIMH (Institut Belanda untuk Sejarah Militer), dan Institut Belanda untuk NIOD (Studi Perang, Holocaust, dan Genosida) mempresentasikan hasil penelitiannya.

Penelitian yang didanai oleh pemerintah Belanda sebesar 4,1 juta euro atau sekitar 67 miliar rupiah itu mengakui bahwa Belanda melakukan kekerasan secara sistematis, meluas, dan kerajaan merestui.

Baca Juga: Studi Tinjauan Sejarah Bocor ke Media, Belanda Lakukan Kekerasan Ekstrem pada Perjuangan Kemerdekaan RI

Tetapi sampai hari ini, pemerintah Indonesia belum merespons permintaan maaf tersebut. Kita tahu ini sudah kali ketiga Belanda meminta maaf atas kekerasan yang mereka lakukan selama masa penjajahan.

Pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda, Bernad Bot menyampaikan pemintaan maaf; kemudian Raja Willem-Alexander dalam lawatannya pada 2020, secara mengejutkan meminta maaf atas "kekerasan yang berlebihan" selama perang.

Dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Universitas Prasetiya Mulya, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, sebagai pembicara utama menilai bahwa permohonan maaf yang disampaikan oleh pemerintah Belanda terkesan sepotong-sepotong; tidak menjawab keseluruhan bencana yang diakibatkan oleh kolonialisme Belanda selama 350 tahun.

“Mungkin Belanda bisa belajar dari Jerman dalam menyelesaikan persitiwa masa lalu, ketika mereka menjajah Namibia,” katanya.

Mei tahun lalu, pengadilan Amerika memenangkan gugatan warga Namibia atas kekejaman Jerman yang mengakibatkan 80 persen suku Herero dan 40 persen penduduk suku Nama lenyap. Jerman membayar ganti rugi sebesar 19,2 triliun rupiah dan mengembalikan semua barang rampasannya.

Sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana memberi saran, sebaiknya permintaan maaf pada masa Revolusi diletakkan dalam konteks pertanyaan, apakah Belanda sebagai sebuah entitas negara yang masih mengakui Indonesia sebagai jajahannya atau mengakui menginvasi sebuah negara yang merdeka?

Komentar lebih kalem muncul dari seorang sejarawan Rushdy Hoesein, dengan kalimat populer, “forgive but never forget.” Dalam penuturannya, ia mengambil posisi seperti itu kala menemani perwakilan veteran Indonesia menghadiri seremoni 50 tahun “Divisi 7 Desember” Belanda.

Baca Juga: Ismail Marzuki Si Komponis Betawi 'Perpustakaan Terbesar' Generasi Baru

Pertemuan itu berlangsung di Belanda. Rushdy melihat hubungan kedua mantan pasukan perang yang dulunya saling tempur, terlihat hangat dan akrab. Tak ada kebencian. “Apa yang kami bicarakan bukan mengenai masa lalu yang penuh dengan tangis, air mata, darah dan keringat, tetapi hal-hal yang baik terutama kemajuan dari kedua negara ini.”

Sementara jika menyoroti hasil penelitian tim independen Belanda yang sudah berjalan sejak 2017 itu, menyebut bahwa serangkaian peristiwa pada periode 1945 - 1949 adalah perang (war), bukan armed conflict.

“Tidak heran kalau hasil penelitian menyamakan tanggungjawab negara agresor dengan Indonesia yang melakukan self defense,” kata Hassan Wirajuda.

Padahal menurut piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) – di mana Belanda sejak awal menjadi anggota – tindakan agresi adalah ilegal, dan self defense memang diperbolehkan.

Perang dan Perundingan

Hasil penelitian tim independen Belanda yang sudah berjalan sejak 2017 itu, menyebut bahwa serangkaian peristiwa pada periode 1945 - 1949 adalah perang (war), bukan armed conflict.

“Tidak heran kalau hasil penelitian menyamakan tanggungjawab negara agresor dengan Indonesia yang melakukan self defense,” kata Hassan Wirajuda.

Padahal menurut piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) – di mana Belanda sejak awal menjadi anggota – tindakan agresi adalah ilegal, dan self defense memang diperbolehkan.

Kedatangan serdadu Belanda ke Indonesia menyusup melalui NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Merujuk keputusan Civil Affairs Agreement antara pemerintah Inggris dan Belanda pada 24 Agustus 1945, yang boleh mendarat di Indonesia hanyalah tentara Inggris, tetapi Belanda bisa ikut membantu sebagai pegawai NICA.

Serdadu Belanda ikut dalam rombongan tentara Inggris yang bertugas mengurus para interniran. Mereka yang ditahan di kamp pada masa penjajahan Jepang menjadi sasaran kekerasan.

Baca Juga: Jalur Trem Tertua di Indonesia Ditemukan di Lokasi Penggalian MRT Jakarta

Pada tanggal 23 Agustus 1945 Pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka baru tiba di Jakarta pada 15 September 1945.

Dua minggu setelah kedatangannya di Jakarta, AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) berlabuh di Tanjung Priok di bawah Pimpinan Letjen Sir Philip Christison. Dan Maret 1946 Panglima tentara Inggris mulai mengijinkan Belanda untuk mengirim pasukannya.

Namun kedatangan sekutu ke beberapa kota mendapat perlawanan dari pasukan Indonesia. Selain NICA memboncengi tentara sekutu, rakyat sudah antipati karena mereka mempersenjatai kembali orang-orang yang semula pada masa kolonial merupakan bagian dari KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

Meletuslah peristiwa memorial yang kita kenal seperti Palagan Ambarawa sebagai Hari Juang Kartika TNI-AD, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, Pertempuran Surabaya sebagai Hari Pahlawan Nasional, Puputan Margarana, sampai peristiwa Korban 40.000 Jiwa Westerling di Sulawesi Selatan yang kini dijadikan sebagai nama jalan di salah satu sudut kota Makassar.

Kekejaman yang diakui Belanda dalam penelitiannya kian tak terbendung. Meski NICA memberlakukan keadaan darurat administrasi sipil saat itu, tetapi nyatanya militer yang mengontrol situasi. Hal ini tentu melemahkan argumentasi lama bahwa serbuan bersenjata saat itu merupakan aksi polisional. Padahal jelas-jelas adalah bentuk agresi militer.

Ide aksi polisional ini muncul dari pemerintah Belanda setelah Perundingan Linggarjati, tetapi pemerintah Indonesia menolak. Belanda melanggar perjanjian dan melancarkan agresi militer pertama yang dilakukan pada tengah malam 20 Juli 1947.

Baca Juga: Sastra Karya Tionghoa di Indonesia, Sastra Liar Melayu Rendah yang Belum Diberi Tempat dalam Sejarah Kita

Menanggapi serangan itu, sebenarnya dunia internasional memihak Republik Indonesia. Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India yang pertama, misalnya mendukung pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan statusnya sebagai negara merdeka. Lalu para buruh Australia memprotes dengan pelarangan bongkar-muat kapal Belanda di pelabuhan Australia.

Sementara respons PBB, menyetujui usulan Amerika untuk membentuk Komisi Jasa Baik (Good Offices Comittee), sebagai mediator di antara kedua negara yang sedang bertikai.

Pernah satu waktu dalam pembahasan mengenai penyelesian konflik di PBB, Sutan Syahrir, yang saat itu menjadi Kepala Perwakilan Indonesia, dengan tegas bilang, “bagaimana mungkin ada perundingan yang bebas bila salah satu pihak berdiri dengan pistol terarah ke kepala pihak lain?”

Tetapi kita tahu, Komisi Jasa Baik nantinya mengusulkan draf Perjanjian Renville yang justru semakin melemahkan posisi Republik Indonesia. Perjanjian itu menegaskan kedaulatan Belanda dan Republik Indonesia akan menjadi negara bagian jika Republik Indonesia Serikat kelak terbentuk.

Pertempuran demi pertempuran, perundingan demi perundingan terus berlangsung dalam masa-masa yang kita sebut “Revolusi” ini – Belanda memakai istilah “Bersiap” (untuk menandai kerusuhan yang terjadi terutama pada 15 Agustus 1945 sampai 1946), yang beberapa waktu lalu jadi kontroversi di antara peneliti sejarah – sampai berujung pada KMB (Konferensi Meja Bundar) dan penyerahan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.

Baca Juga: Mengenang Para Johan dalam Sejarah Kedaulatan Maritim Kerajaan Melayu

Serikat untuk Siasat

Dalam masa Revolusi, yang menjadi korban bukan hanya dari serdadu Belanda ataupun Indonesia, tetapi juga kelompok sipil dari golongan Indis (orang Belanda kelahiran Indonesia) dan keturunan Indo (Eropa-Hindia), orang Tionghoa, orang Ambon, dan Manado.

Ada sentimen rasial kepada kelompok suku dan ras yang muncul di masyarakat. Apalagi mereka yang diketahui dekat atapun bekerja sama dengan penjajah.

“Ini datang dan berakar pada era kolonialisme di mana masyarakat jajahan dibangun secara hirarkis,” jelas Bonnie Triyana dalam kesempatan diskusi yang sama dengan Hassan Wirajuda.

Misalnya saja, siasatnya mengumpulkan perwakilan dari wilayah Indonesia timur dalam sebuah kenferensi di Malino, untuk membangun negara bagian. Kemudian selang hampir tiga bulan, mereka menyelenggarakan sebuah konferensi di Pangkalpinang. Yang hadir, perwakilan dari golongan Tionghoa, Arab, Indo dan Indis. Mereka menyetujui keputusan Konferensi Malino.

Dari situ muncullah negara-negara feredal seperti: Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Djawa Timur, dan seterusnya. Belanda juga membentuk daerah otonom: Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, dan Djawa Tengah.

Tapi ini tidak sama dengan mendorong untuk penentuan nasib sendiri, karena perwakilan dari wilayah dan negara yang disebutkan di atas, ialah orang yang memihak ke Belanda. Di sini rakyat Indonesia akan saling berhadapan. Identifikasi kawan-lawan semakin kabur.

Kedatangan Kembali

Apa yang membuat Belanda melakukan dekolonisasi dan menolak kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945? Adakah dasar hukum yang menyebut Belanda berhak menduduki kembali bekas jajahannya? Ataukah Sekutu membolehkan Belanda kembali menduduki Indonesia?

Kita tahu Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Sekutu sebelumnya sudah menyetujui Piagam Atlantik yang bersuara menolak bentuk kolonialisme, dan mendukung kemerdekaan untuk setiap negara, karena itulah tanpa perang, Amerika memerdekakan Filipina, dan tanpa perang juga Inggris memerdekakan Burma dan India.

Sementara Piagam PBB memuat prinsip “penentuan nasib sendiri”, dan dengan proklamasi, Republik Indonesia sudah menegaskan kemerdekaannya. Ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintah.

Lalu apa sebenarnya tujuan Belanda datang kembali?

“Motivasi utama Belanda setelah berakhirnya perang dunia kedua untuk menduduki kembali Indonesia adalah eknomi,” jawab Hassan Wirajuda atas pertanyaannya sendiri.

Setelah negara-negara Eropa porak-poranda akibat serangan yang dilakukan Nazi, tentu mereka membutuhkan biaya yang besar untuk melakukan rehabilitasi. “Dan Indonesia dengan segala kekayaan alamnya merupakan satu-satunya pilihan,” ia menambahkan.***

Editor: Ghazali Hasan

Tags

Terkini

Terpopuler