Mereka yang Memilih Pena adalah Senjata, jadi Tulisan Hingga Pengasingan

1 Oktober 2021, 17:06 WIB
Para pejuang dengan pena. /Grafis ilustrasi ANTARA/Erie/Perdinan/

SUARA TERNATE - Tampilnya kaum pelajar yang menghimpun persatuan nasional lewat berbagai organisasi maupun partai pergerakan, sederet tokoh lain juga ikut berjuang lewat goresan pena mereka demi kemerdekaan Indonesia.

Surat kabar dan bentuk tulisan lainnya, seperti risalah, esai, novel, karikatur, hingga buku menjadi alat perjuangan mereka.

Mereka yang umumnya juga seorang jurnalis maupun penulis tersebut lantang mengritik ketidakadilan serta kekejaman pemerintah Hindia Belanda lewat tulisan masing-masing.

Baca Juga: Denting Piano Nada Sendu Eks Tapol 65

Tidak hanya itu, tulisan mereka juga mengambil bagian penting dalam upaya mencapai kemerdekaan karena turut menggerakan kesadaran nasional kaum pribumi yang tidak terjangkau atau terlibat langsung dalam organisasi maupun partai.

Mereka ikut menuangkan sekaligus menyuarakan berbagai ide, gagasan serta aspirasi yang bersifat nasionalis untuk mengimbangi gerak organisasi, perhimpunan, ataupun partai di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota.

Lewat goresan pena masing-masing, mereka menyadarkan serta membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan diantara kaum pribumi.

Ada banyak massa dan solidaritas terbentuk selepas penerbitan tulisan-tulisan mereka. Bahkan tidak jarang, perjuangan mereka lewat tulisan memunculkan berbagai aksi, baik mogok kerja maupun protes besar-besaran dari kalangan pribumi kepada pemerintah Hindia Belanda.

Di lain waktu pula, tulisan-tulisan mereka memuat strategi pergerakan yang diorganisir oleh organisasi atau partai.

Baca Juga: Tajibesi: Debus Ala Maluku Kie Raha yang Berperan Bangkitkan Semangat Perlawanan terhadap Kolonial

Sebagai akibatnya, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap berbahaya pada tulisan-tulisan para pejuang kemerdekaan ini.

Tidak berbeda dengan golongan terpelajar, mereka juga diburu, dihukum, dipenjara, bahkan diasingkan ke berbagai daerah hingga luar negeri oleh pemerintah Hindia Belanda.

Meski begitu, mereka juga tetap gigih berjuang dengan kertas dan pena dari tempat pengasingan demi kemerdekaan Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan harus melakukan pelarian seumur hidup, menjadi tahanan kota, atau meninggal dalam sunyi pengasingan.

Karena keberaniannya mengangkat pena hingga ke pengasingan, mereka tidak hanya mendapat gelar pahlawan nasional dari presiden. Negara ikut mengabadikan nama mereka dalam banyak hal, dari nama jalan, museum hingga peringatan hari nasional untuk tetap mengingat jasa masing-masing.

Berikut, sekelumit kisah tentang sebagian dari mereka yang memilih kata sebagai senjata:

Tan Malaka.

Tan Malaka (2 Juni 1897 - 21 Februari 1949)

Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka telah menggaungkan 'Indonesia Merdeka' sejak April 1925 lewat tulisannya yang terkenal Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia, sebuah tulisan yang sangat berani dan jauh melampaui zaman.

Tan pertama kali berkenalan dengan sosialisme dan komunisme ketika tinggal di Belanda pada tahun 1913-1919.

Setelah kembali ke Indonesia di akhir tahun 1919, Tan Malaka mengajar anak-anak kuli kontrak perkebunan Belanda dan kerap mengorganisasi pemogokan buruh.

Tahun 1922, Tan diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda karena aktivitasnya yang terlibat pemogokan demi pemogokan dianggap berbahaya.
Dalam pengasingan, Tan aktif di Komunis Internasional (Komintern) dengan menjadi wakil untuk Asia Tenggara pada tahun 1923.

Tan Malaka dikenal sebagai sosok yang sangat produktif menulis. Dia juga menulis sederet pustaka penting lainnya, seperti Aksi Massa (1926), Materialisme, Dialektika dan Logika/Madilog (1926) ataupun Gerilya-Politik-Ekonomi/Gerpolek (1948).

Presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno bahkan mengakui Naar de Republiek Indonesia dan Aksi Massa sangat berpengaruh kepada pemikiran politiknya.

 

Sayuti Melik,

Sayuti Melik (22 November 1908 - 27 Februari 1989)

Mohamad Ibnu Sayuti dikenal dalam sejarah sebagai pengetik naskah proklamasi. Namun, kiprahnya bukan hanya itu, Sayuti juga berjuang lewat tulisan-tulisannya. Dia adalah seorang wartawan.

Perkenalan pertamanya dengan pergerakan banyak dipengaruhi oleh majalah Islam Bergerak yang dipimpin oleh KH Misbach di Solo. Di usianya yang masih belasan pula Sayuti telah aktif menulis.

Karya tulisnya yang sering mengkritik kolonial membuat Sayuti dianggap berbahaya. Bahkan di usia 16 tahun atau pada 1924, Sayuti telah masuk penjara di Ambarawa dengan tuduhan menghasut rakyat.

Selang dua tahun, dia kembali masuk penjara. Kali ini tuduhannya ikut terlibat pemberontakan 1926. Dari penjara Banyumas, dia dibuang ke Boven Digul pada 1927 hingga bebas pada 1933.

Selang bebas dari Digul, Sayuti dan istrinya SK Trimurti yang juga aktivis perempuan mendirikan koran Pesat di Semarang pada 1937. Namun, perjalanan Pesat tidaklah mulus karena Sayuti dan Trimurti rajin bolak balik penjara akibat aktivitas politiknya.

Pesat kemudian dibredel Jepang selang empat tahun sejak terbit.

 

Abdul Muis. Instagram.com/@haripahlawan2020

Abdul Muis (3 Juli 1883 - 17 Juni 1959)

Tulisan-tulisan Abdul Muis kental dengan semangat perlawanan terhadap Belanda. Pengalaman pertamanya di dunia jurnalistik bermula saat menjadi penyunting edisi bahasa Melayu Bintang Hindia.

Setelahnya, jejak Abdul Muis di dunia kewartawanan terlihat di banyak tempat, seperti di surat kabar ‘De Express’, koran Belanda ‘De Preanger-bode’, harian Neratja, Majalah Oetosan Melajoe, surat kabar Mimbar Rakyat serta Koran Perobahan.

Perjuangannya berlanjut ke Dewan Rakyat (Volksraad) sejak tahun 1920. Selama berada di Dewan Rakyat, Abdul Muis dikenal sangat kritis. Dia meminta pemerintah kolonial untuk menghapuskan kerja rodi dan menurunkan pajak.

Tidak hanya itu, dia juga sering berkeliling Nusantara untuk menggaungkan kemerdekaan dan perjuangan berbasis adat. Aktivitasnya itu menyulut kecurigaan Hindia Belanda.

Abdul Muis lantas ditangkap dan diadili tahun 1926 dengan tudingan penghasutan untuk melawan pemerintah. Dia divonis tidak boleh berpolitik dan dilarang keluar dari Pulau Jawa.

Pihak kolonial mempersilakan Abdul Muis memilih tempat pengasingan, dan dia memilih Garut, Jawa Barat.

 

Mohammad Misbach (1876-1926)

Situasi tanah Jawa di awal abad ke-20 menarik perhatian Misbach, seorang saudagar batik di Surakarta. Lantas, Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) menjadi wadah menuangkan gagasan dan buah pikirannya selepas bergabung dengan Indische Journalist Bond.

Di koran Islam Bergerak terbitan April 1919 misalnya, Misbach membuat karikatur yang memperlihatkan penindasan Belanda pada petani.

Karikatur ini menginspirasi aksi mogok petani di beberapa perkebunan Belanda. Dia akhirnya dipenjara pada 1920 atas tuduhan penistaan dan baru keluar pada 1922.

Karena sepak terjangnya yang dikenal tegas, Misbach kembali di tangkap pada 20 Oktober 1923. Misbach dipenjara di Semarang sebelum dibuang ke Manokwari.

Di pengasingan, goresan penanya tetap lantang. Tulisan bersambung Misbach berjudul “Islam dan Komunis” yang dimuat secara berkala di Medan Moeslimin sepanjang tahun 1925 ditulis ketika berada dalam pengasingan.

Sebelum meninggal, Misbach sempat mengeluarkan tulisan terakhir berjudul “Nasehat”. Tulisan ini juga terbit di Medan Moeslimin dan berisikan pesan agar tetap bergerak melawan kezaliman berlandaskan agama.

Tirto Adhi Soerjo.

Tirto Adhi Suryo (1880 - 7 Desember 1918)

Tirto Adhi Suryo dikenal sebagai Sang Pemula, Bapak Pers Nasional. Di tangan Tirto, lahir beberapa surat kabar berbahasa Melayu, seperti Soenda Berita, Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan dan Poetri Hindia (media massa pribumi pertama khusus perempuan).

Soenda Berita (1903) menjadi menjadi langkah awal pers nasional karena surat kabar tersebut dikelola, disunting dan diterbitkan oleh bumiputra. Sementara Medan Prijaji (1907) yang awalnya terbit mingguan, menjadi surat kabar harian besar.

Surat kabar ini memiliki rubrik pengaduan warga yang masalah-masalah itu akan dijawab dan diberikan penyuluhan hukum. Ada sekitar 225 warga yang mengadu lewat Medan Prijaji.

Singkatnya, Medan Prijaji berdiri menjadi corong public. Lewat Medan Prijaji, Tirto mengkritik secara tajam kesewenang-weneangan pejabat. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pembelaan terhadap warga yang mendapatkan perlakuan tidak adil.

Atas kritikannya lewat surat kabar, Tirto dua kali dikenakan sanksi oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan diasingkan ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Buru atau juga Bacan (1912).***

Editor: Ghazali Hasan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler