Pesisir dan Pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Perubahan Iklim dan Izin Operasi Tambang

- 2 November 2021, 19:57 WIB
Seorang anak di Kepulauan Widi, Halmahera. WALHI Maluku Utara, pesisir dan pulau kecil di Malut terancam perubahan iklim serta izin operasi tambang.
Seorang anak di Kepulauan Widi, Halmahera. WALHI Maluku Utara, pesisir dan pulau kecil di Malut terancam perubahan iklim serta izin operasi tambang. /Pixabay/Kanenori/

SUARA TERNATE – Isu penyelamatan Pesisir Laut  dan Pulau Kecil yang gencar disuarakan WALHI Maluku Utara akhirnya menjadi salah satu agenda urgen dalam Conference of The Parties (COP) ke-26 atau Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021, di Glasgow, Skotlandia, Inggris, antara 31 Oktober dan 12 November 2021.

Pertemuan itu untuk membahas kebijakan-kebijakan dalam pengendalian perubahan iklim tingkat global. Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut dalam perundingan tersebut yang juga telah meratifikasi Perjanjian Paris.

“Melalui perundingan COP ke-26 di Glasgow, Britania Raya itu isu penyelamatan pesisir laut dan pulau pulau kecil juga disuarakan. Karena dampak paling nyata yang dihadapi dunia terkait perubahan iklim adalah yang dialami masyarakat yang berada di pesisir laut dan pulau-pulau kecil seperti di Maluku Utara,” kata Direktur Walhi Maluku Utara Ahmad Rusiydi Rasjid, Rabu 2 November 2021.

Baca Juga: Turunkan Emisi Karbon, Langkah Perlindungan Laut dan Nelayan

Rusiydi mengatakan, pentingnya isu pesisir laut dan pulau-pulau kecil disuarakan, karena Maluku Utara saat ini sedang  menghadapi masalah serius terkait bahaya izin operasi tambang yang mengancam.

“Ada banyak wilayah baik di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan Halmahera Utara semua daerahnya penuh dengan izin tambang dan perkebunan monokultur,” ucap dia.

Terdapat 113 Izin Usaha Pertambangan dengan total luasan konsesi 638.604,52 hektar. Kemudian, izin-izin usaha pemanfaatan hutan kayu pada hutan alam, hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat dengan total luasan 867.352 hektar serta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 58.516,92 hektar.

“Dari keseluruhan luasan izin-izin, baik pertambangan maupun pemanfaatan hutan dan perkebunan monokultur hampir mencapai setengah dari total luas kawasan hutan di Maluku Utara,” jelasnya.

Baca Juga: Kementerian ESDM: Terdapat 2.741 Lokasi Tambang Ilegal di Indonesia

Dia menambahkan, ada ekstraksi tambang yang limbahnya akan dibuang ke laut terutama di pulau Obi. Tambang nikel di Obi, Halmahera Selatan, menggunakan metode peleburan nikel laterit, yakni proses hidrometalurgi, high pressure acid leaching (HPAL).

“HPAL itu paling banyak dipilih produsen nikel baterai di Indonesia saat ini. HPAL tersebut menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing),” katanya.

Sekadar diketahui, di Indonesia, ada tiga proyek HPAL dibangun, di antaranya di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Obi, Maluku Utara.

Masalahnya, perusahaan Morowali dan Obi dengan metode HPAL yang menghasilkan limbah tersebut akan dibuang ke laut. Di Obi, Halmahera Selatan tailing yang akan dibuang ke laut mencapai 6 juta ton per tahun di  kedalaman 230 meter.  

“Ini sebenarnya adalah masalah serius,” pungkasnya.***

Editor: Ahmad Zamzami


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x