Ada beberapa pihak yang memandang penggunaan kata “kekerasan” dalam judul RUU TPKS berpotensi menyisakan persoalan norma baru, yakni aspek nonkekerasan justru menjadi tidak diatur di dalam aturan tersebut.
Dengan demikian, segala tindakan seksual yang tidak berunsur kekerasan dianggap tidak akan mendapatkan sanksi hukum. Oleh karena itu, pihak bersangkutan menginginkan RUU TPKS diubah judulnya menjadi RUU Tindak Pidana Kesusilaan.
Baca Juga: 7 Fakta Pemerkosaan di Halmahera Tengah. Korban Disekap hingga Organ Vital Bengkak
Alasan selanjutnya adalah indikasi sexual consent. Artinya, tidak adanya larangan perzinahan dan hubungan sesama jenis mengindikasikan perbuatan itu diperbolehkan oleh RUU TPKS.
Untuk menanggapi pandangan tersebut, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya pun menegaskan bahwa RUU TPKS tidak mengandung sexual consent. Willy menyatakan adanya pandangan tentang dimuatnya sexual consent dalam RUU TPKS disebabkan kekeliruan pemahaman beberapa pihak.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan itu, dapat dipahami bahwa penolakan yang muncul terhadap RUU TPKS sebenarnya menjadi masukan yang nantinya akan membuat aturan tersebut menjadi lebih baik.
Baca Juga: Suami Cabuli Belasan Santri Selama 5 Tahun, Ini Pengakuan Istri Herry Wirawan
RUU TPKS dalam harapan ke depannya
Dengan sejumlah kontra dan kendala yang ada, apabila diamati mendalam, hal-hal tersebut sejatinya bukan mengartikan bahwa RUU TPKS tidak memiliki harapan untuk segera disahkan. Silang pendapat yang hadir masih berpeluang untuk menemukan jalan keluar. Oleh karena itu, harapan untuk RUU TPKS menjadi inisiatif DPR, lalu disahkan, masih ada.
Seperti yang dikatakan oleh Gugum Ridho Putra, kerja keras DPR RI dalam merespons kebutuhan hukum masyarakat, yaitu payung hukum tegas untuk melindungi masyarakat dari kasus pelecehan seksual, tetap harus diapresiasi.