Kisah Pala, Kondisimu Kini di Kepulauan Banda

- 6 Oktober 2021, 04:35 WIB
Pemilik kebun pala, Kasim Taher memetik pala di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah.
Pemilik kebun pala, Kasim Taher memetik pala di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah. /ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja./

SUARA TERNATE - Hamparan tanaman pala tersebar hampir semua pulau berpenghuni di gugusan Kepulauan Banda. Pala atau Myristica fragrans Houtt ditanam sejak ratusan tahun lalu saat masa perdagangan rempah-rempah antar benua di dunia.

Dari 11 pulau di Kepualaun Banda, pulau berpenghuni itu yakni Gunungapi, Banda Besar (Lontar), Banda Neira, Hatta, Ay, Rhun dan Syahrir. Dulunya di pulau-pulau itu tersebar perkebunan pala yang dikuasi Belanda diantaranya 31 perkebunan di Pulau Ay, 34 perkebunan di Banda Besar dan 3 perkebunan di Naira.

Jatuhnya masa penjajahan Belanda yang digantikan Jepang pada tahun 1942, seluruh perkebunan pala itu dikuasai oleh mereka. Bahkan sebagian besar tanaman pala itu ditebang dan digantikan tanaman ubi kayu.

Walaupun hanya menjajah tiga tahun lamanya, kerusakan perkebunan pala cukup besar di Kepulauan Banda. Karena Jepang tidak fokus pada penguasaan sumber rempah-rempah.

Setelah 1945 atau saat Indonesia merdeka, perkebunan-perkebunan pala itu diambil alih sebagai aset Negara. Perkebunan pala itu kemudian dikelola oleh Perkebunan Pala Banda, bukan dikelola oleh masyarakat.

Salah satunya adalah perkebunan milik keluarga dari generasi Van Den Broeke sekitar 140 hektare (ha).

Sejarawan Banda Mochtar Thalib (65) mengatakan dalam perkebangannya, perkebunan pala itu tidak dikelola dengan baik. Manajemen pengelolaan perkebunan dinilai cukup buruk, di mana pengelolaan diberikan kepada masyarakat dengan sistem bagi hasil.

Mochtar menjelaskan masing-masing keluarga diberikan lahan kelola bervariasi dengan ukuran 50 meter x 30 meter hingga 50 meter x 40 meter. Hasilnya, 70 persen diberikan kepada perusahaan dan 30 persen dinikmati pengelola.

“Kondisi itu bertahan hingga sekitar tahun 2010,” ujar dia.

Mochtar menyatakan walaupun lahan-lahan pala itu dikelola oleh masyarakat, namun mereka tidak memiliki secara utuh sebagai hak milik. Lahan itu tetap dalam penguasaan perusahaan, walaupun hasilnya 100 persen sudah diambil oleh masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam Kecamatan Banda Dalam Angka 2019, tercatat 1.211 kepala keluarga (KK) membudidayakan tanaman pala dengan luas panen 382 ha dan produksi mencapai 922,5 ton pada 2018.

Di Pulau Rhun, pasangan suami istri, Rosman Rajamani (43) dan Saidah (40) terlihat membersihkan tanaman pala mereka, tidak jauh dari sebuah “rumah besi” peninggalan Belanda yang kini tinggal kerangka saja.

Rosman menyatakan mereka menanam pala di atas lahan sekitar 50 meter x 50 meter. Lahan itu merupakan warisan dari kakek dari istrinya, yang dulunya sebagai penjaga rumah besi tersebut. Di atas lahan itu, mereka menanam puluhan pohon pala, sekitar 15 tahun lalu.

“Saat ini sekitar 10 pohon yang sudah bisa dipanen,” ujar Rosman.

Istrinya, Saidah menceritakan lahan mereka kelola merupakan warisan keluarga turun-temurun. Dulunya di atas lahan itu, semua tanaman pala ditebang saat penjajahan Jepang, sehingga hanya tersisa beberapa pohon saja yang masih ada sampai saat ini.

Oleh orang tua mereka ditanamkan pohon kelapa. Namun, saat ini lahan itu kembali ditanami pala, melihat hasilnya yang masih cukup untuk menghidupi keluarga.

Harga satu kilogram buah pala kering dihargai sebesar Rp85 ribu. Sementara bunga pala kering atau fuli dibeli pengumpul sebesar Rp230 ribu per kilogram.

Mereka menyatakan terdapat perbedaan harga buah pala dilihat dari kualitasnya. Harga maksimal didapatkan dari kualitas pala super, atau pala yang dipanen tepat waktu.

Harganya akan turun jika buah pala itu dipanen cepat atau diambil sebelum waktunya.

“300 biji pala super bisa menjadi satu kilogram buah pala kering. Sementara untuk pala yang dipanen cepat, butuh 600 biji untuk satu kilogram,” kata Saidah.

Seorang warga membakar daun kering di area perkebunan pala di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah.
Seorang warga membakar daun kering di area perkebunan pala di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah.


Perkebunan Pala

Selain di Pulau Rhun, pusat perkebunan pala terbesar lainya di Pulau Banda Besar. Salah satu desa yakni Lonthoir, menjadi simbol bagaimana kejayaan pala banda ratusan tahun lalu. Di desa itu, tersisa satu generasi keturanan pemilik perkebunan pala sejak zamam Belanda.

Pongky Irwandi Van Den Broeke merupakan generasi ke-13 sebagai pemilik perkebunan (Parkenier) tanaman Pala di Kepulauan Banda. Pongky lahir 5 Agustus 1956 dengan ayah Benny Wiliem Van Den Broeke.

Pongky keturunan dari Paulus Van Den Broeke, warga Belanda yang mengelola Pala sejak 1912.

Sejak masa penjajahan Belanda, keluarga Van Den Broeke menguasai 140 ha perkebunan pala di Kepulauan Banda. Namun tersisa 12,5 ha yang dikelola Pongky saat ini.

Itu pun, melalui proses panjang untuk mendapatkan kembali lahan perkebunan itu dari pemerintah Indonesia.

Pongky (64) menunjukan satu bangunan dua tingkat yang digunakan untuk pengeringan biji pala tepat di samping rumahnya. Bagian atas mampu menampung hingga tujuh ton pala yang siap dikeringkan, sementara bagian bawah menjadi tungku untuk membuat api untuk mengasapi biji pala diatasnya.

“Pengeringan pala bisa sampai satu bulan. Kalau siang pakai panas matahari. Sore sampai malam pakai tungku,” ujar Pongky.

Dengan lahan perkebunan 12,5 ha, Pongky dapat memanen pala tiga hingga empat kali dalam setahun. Hasilnya sekitar dua ton sekali panen, dan setahun bisa mencapai maksimal tujuh ton.

Saat ini, harga biji pala kering dijual sebesar Rp70 ribu hingga Rp85 ribu per kilogram. Sementara untuk bunga pala atau fuli dijual sekitar Rp240 ribu per kilogram.

Dia mengakui selama empat tahun pernah merasakan harga biji pala dan fuli cukup baik, harga biji pala kering dijual seharga Rp190 ribu dan fuli dijual tiga kali lipat lebih mahal. Saat itu pascareformasi sekitar tahun 1999.

Pongky juga menunjukan beberapa pekerjanya yang mengupas kulit ari dari biji pala kering. Dengan mesin gerinda kecil, para pekerja itu sedang menyiapkan bibit-bibit pala yang akan dijual kepada para petani di seluruh Indonesia.

“Saya mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian, sebagai penyalur benih di seluruh Indonesia,” kata Pongky, pertengahan November 2020.

Awalnya pembenihan pala dilakukan hanya sekadarnya saja, hanya untuk memenuhi kebutuhan pergantian tanaman dikebun sendiri. Namun, sekitar tujuh tahun lalu, beberapa orang dari Dinas Pertanian mengunjungi dirinya untuk melihat kondisi perkebunan pala.

Setelah melihat banyaknya bibit pala, para petugas pemerintah itu berniat membeli untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Hubungan pun berlanjut, komunikasi terus dilakukan antara Pongky dengan pihak dinas.

“Mereka melihat pohon indukan pala, yang layak dijadikan sumber benih,” ujar Pongky.

Setelah melalui serangkaian pengujian laboratorium, puluhan pohon palanya ditetapkan menjadi pohon indukan terpilih (PIT), dengan sistem barcode. Kerja sama pun resmi dilakukan, di mana Pongky mendapatkan kuota penyediaan 350 ribu benih dalam setahun.

Pongky pun menjual benih berkecambah dengan tinggi 4-7 sentimeter. Per 10 ribu kecambah dijual Rp1.400 per kecambah.

Benih itu dikirim ke seluruh wilayah Indonesia dengan media karton. Satu karton bisa berisi 1.500 benih dan mampu bertahan sepekan, tanpa media tanam tanah.

Selain produsen benih, Pongky juga mengolah biji pala kering menjadi minyak pala. Minyak pala atau disebut minyak atsiri itu mampu dijual hingga jutaan rupiah setiap liternya.

Bahan baku pembuatan minyak pala, berasal dari pala muda yang gugur hingga benih pala yang gagal berkecambah.

“Satu liter dijual Rp1,3 juta. Tapi biasanya ada wisatawan yang datang membeli dengan ukuran yang lebih kecil untuk dijadikan souvenir. Ukuran 150 mililiter dijual Rp50 ribu,” kata Pongky.

Pongky mengakui dalam bidang bisnis, pengolahan minyak pala dianggap paling menguntungkan dari semua produk hasil perkebunan pala. Namun, dirinya masih memegang prinsip untuk tetap mempertahankan kualitas biji pala banda kering yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kualitas itu bahkan sudah diakui dunia sejak ratusan tahun lalu.***

Editor: Ahmad Zamzami

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah