Bersahaja Tapi Kaya Rasa, 3 Alumni Masterchef Indonesia Memasak Ulang Makanan Khas Masyarakat Adat

- 6 September 2022, 13:58 WIB
Uta Kelo makanan khas masyarakat adat Sulawesi Tengah.(Fifin)
Uta Kelo makanan khas masyarakat adat Sulawesi Tengah.(Fifin) /

Namun, bagi penduduk urban mungkin agak sulit mereplika masakan ini, karena tidak mudah mendapatkan bambu. Ditambah lagi, bagi yang tidak terbiasa, membuat perapian dari kayu bakar bisa menjadi hal menantang.

“Menjaga api tetap stabil juga perlu trick. Api harus terus ditiup agar tidak mati. Proses memasak seperti ini membuat kita jadi lebih menghargai nilai sebuah masakan. Ketika prosesnya sudah berhasil dilalui, hingga kemudian makanannya matang, nikmatnya jadi dua kali lipat. Rasanya mewah sekali,” kata La Ode, yang senang memasak di alam terbuka. 

Sementara bagi Jordhi, tantangannya adalah mengurangi rasa getir daun dan bunga pepaya, tapi tidak sampai hilang sama sekali.

“Kalau pahitnya benar-benar hilang, rasanya justru jadi kurang sedap. Trick saya adalah meremasnya dengan garam agar getahnya jauh berkurang. Setelah itu, di-blanch (rendam dalam air mendidih) selama tiga hingga lima menit," katanya. 

Silvy dan Fifin juga berbagi tips. Menurut mereka, memasak daun kelor untuk uta kelo perlu benar-benar pas. Kalau terlalu matang, daunnya akan terasa pahit. “Ketika santan sudah mendidih, masukkan daun kelor hingga layu. Tidak perlu diaduk, karena malah bisa mengeluarkan rasa pahit,” kata Silvy.

Sehat tanpa penyedap

Masakan yang dibungkus daun, seperti daun jati, daun jagung, dan daun pisang, atau dimasak dengan bambu memberi aroma khas pada masakan, yang tak tergantikan. Makanan masyarakat adat tak memerlukan aroma sintetis untuk menggoda selera. 

Begitu juga dengan penggunaan perasa alami. Silvy mengungkapkan warga di kampungnya kerap menggunakan daun kedondong untuk menambahkan rasa asam pada masakan. Fungsinya berbeda dari daun jeruk purut yang hanya sebagai penambah aroma, tapi tidak menambahkan rasa asam. Daun kedondong terasa segar, karena tak perlu melewati pemrosesan apa pun.

“Di samping itu, kuliner Masyarakat Adat cenderung jarang menggunakan minyak, apalagi dalam jumlah banyak. Misalnya, jika memasak dengan bambu, kita tidak perlu menggunakan tambahan minyak. Minyak yang digunakan adalah minyak alami dari bahan protein, misalnya ayam. Bumbu yang dibubuhkan pada ayam pun tidak perlu ditumis, cukup dicampurkan begitu saja. Air yang digunakan untuk memasak juga dari air bambu itu sendiri,” kata Silvy. 

Memasak dengan cepat juga membuat kandungan vitamin tetap terjaga. Misalnya, memasak manok pansoh tak perlu waktu lama, karena ayamnya sudah dipotong kecil-kecil. Dengan begitu, sari alami ayam tidak hilang, tapi ayam tetap empuk dan lezat. Sementara daun kelor yang mampu memperbaiki kondisi gizi buruk di NTT juga hanya perlu dimasak sebentar saja.

Halaman:

Editor: Ahmad Zamzami


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah